Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Menjadi Dewasa Itu Melelahkan


[Artikel 2#, kategori pria 34 tahun] Tanpa sadar, dituntut untuk mengerti. Mengalah dengan apa yang terjadi. Kalau mau marah, dianggap anak kecil yang sedang ngambek. Dilawan sama-sama keras, dianggap tak punya hati. Lalu ditinggal pergi. Sangat melelahkan jika dipikir kembali. Tidak bisakah saling melengkapi?

Saya berbicara tentang keadaan dua orang kekasih. Pria yang sudah dewasa dari segi umur. Dianggap cukup dari sisi kualifikasi pernikahan dan tentu, paham manis asam garam kehidupan.

Satunya, wanita yang penuh enerjik. Dewasa saat sedang mood bahagia. Dan sebaliknya, mood buruk bakal membuatnya jadi gadis berusia belasan tahun yang selalu menuntut. Bila tidak dipenuhi, ngambek adalah pilihannya. Dua sisi berbeda yang tak ragu-ragu mengeluarkan mulut pedas hingga keputusan yang seolah mudah tanpa kompromi.

Melelahkan

Entah kenapa sebagian pria menyukainya. Bertahan dengan pasangannya, seolah punya banyak tenaga untuk mencintai. Rasa lelah seolah bagian dari kehidupan. Selama itu adalah cinta.

Terkadang saya ingin mundur, diam, tak melakukan apapun. Nyatanya, logika tetap kalah oleh perasaan. Apakah ini berarti persentase jatuh cinta lebih besar ketimbang memikirkan rasa sakit akibat cinta tersebut? Entahlah. Bertahan karena rasa adalah obat terbaik untuk mengatasi rasa lelah.

...

Andai saya dapat berkat pengulangan hidup menjadi pria muda, mungkinkah saya akan pergi ketika merasa lelah menjadi kekasih?

Saya harap tidak. Jatuh cinta memang ajaib. Seperti candu yang terkadang tidak butuh alasan untuk bertahan.

Selama tetap bersamanya. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Di Balik Layar: Perjuangan Nonton Film Hotel Sakura di Semarang