Pria Tidak Berdaya
[Artikel 67#, kategori sepakbola] Inginnya mengukir sejarah, eh malah jadi bahan cari celah dan kritik sana-sini. Mimpi Piala Dunia yang tadinya sudah di depan mata, kini harus pupus begitu saja. Sungguh ironi, tapi inilah kisah perjalanan Timnas Indonesia kali ini. Mereka harus menutup perjalanan panjang kualifikasi usai kembali takluk di hadapan Irak.
Minggu dini hari, 12 Oktober 2025, adalah momen yang mungkin akan dikenang (dan disesali) oleh segenap penggemar sepak bola dan seluruh masyarakat Indonesia. Perjalanan panjang Tim Nasional kita harus terhenti di Stadion King Abdullah Sports City, dalam lanjutan putaran keempat Grup B.
Jujur saja, melawan Irak — yang notabene peringkatnya jauh di atas Indonesia dan bahkan lebih tinggi dari Arab Saudi (yang beberapa hari sebelumnya sudah mengandaskan kita) — ada rasa pesimis yang menyelimuti. Pengalaman dan peringkat mereka memang jauh di atas kita. Wajar rasanya jika rasa pesimis itu muncul, meskipun harapan akan sebuah keajaiban tetap coba dipelihara.
Dari segi permainan, saya harus akui, performa Timnas kita jauh lebih baik ketimbang saat berhadapan dengan Arab Saudi. Permainan terlihat lebih cair, lebih banyak menekan, dan mampu menguasai bola lebih lama.
Namun, apalah artinya dominasi dan kelincahan di lapangan? Semua usaha itu lagi-lagi selalu kandas ketika sudah berada di muka gawang lawan. Padahal, PSSI sudah berupaya maksimal merekrut penyerang-penyerang berlevel Eropa. Tapi, namanya juga sepak bola. Sepak bola bukan hanya soal skill individu, tapi juga penyelesaian akhir yang mematikan.
Regulasi dan pihak PSSI memang sudah bekerja keras. Mereka sudah maksimal mendatangkan talenta-talenta luar biasa lewat program naturalisasi pemain berdarah keturunan. Namun, faktanya tetap sama: kita masih gagal melangkah.
Mau tidak mau, Ketua PSSI menjadi sasaran tembak utama. Kesalahan fatalnya yang mengganti pelatih di tengah ambisi besar ini kembali diungkit. Bahkan, kini muncul anggapan bahwa ini adalah dosa besar. Bagaimana jika ujung-ujungnya mimpi yang ingin dikejar bukanlah Piala Dunia 2026, melainkan di tahun 2030?
Situasi semakin keruh dengan berbagai kabar yang berkembang liar di media sosial. Ditambah dengan posisi Ketua PSSI yang konon punya "banyak kaki" di dalam struktur pemerintahan. Kondisi ini membuat para pendukung sepak bola menjadi bingung. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab penuh jika kondisi begini, apalagi dengan dua jabatan penting yang diisi oleh satu nama?
Apakah kegagalan ini adalah pelajaran yang harus diterima? Atau, haruskah kita bersama-sama memanfaatkan momentum ini untuk melakukan evaluasi total?
Di satu sisi, memang sudah seharusnya momen ini dijadikan kesempatan untuk tampil jauh lebih baik lagi di masa depan. Namun, di sisi lain, saya juga memikirkan nasib beberapa pemain naturalisasi yang sangat bermimpi membela Indonesia di Piala Dunia. Mereka yang sudah rela berganti kewarganegaraan, kini harus menelan pil pahit karena mimpi itu sudah punah untuk sementara.
Ya, saya berbicara soal faktor usia. Mimpi Piala Dunia 2030 terasa begitu jauh bagi mereka yang usianya sudah di penghujung karier sebagai pesepak bola. Tentu sangat disayangkan.
Perjuangan ini belum berakhir, mimpi itu memang belum dalam genggaman, dan kita wajib menjadikan hari ini sebagai refleksi. Jangan lupakan sejarah ini. Kita tersingkir, dan itu karena dosa-dosa kita sendiri.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar