Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Di Balik Layar GIIAS Semarang 2025: Perjuangan dan Kebanggaan Blogger Lokal

[Artikel 38#, kategori Dibalik Layar] Bisa ikut liputan GIIAS Semarang 2025 sebagai blogger adalah pengalaman yang luar biasa, apalagi ini tahun keempat dotsemarang hadir di event otomotif bergengsi ini. Sebagai satu-satunya blog independen dengan platform Blogspot yang berhasil tembus seleksi media, rasanya ada kebanggaan tersendiri. 

Semarang, kota yang selalu punya cerita, kembali jadi panggung. Tapi, cerita di balik layar liputan ini ternyata nggak selalu mulus, malah cenderung bikin deg-degan sampai harus naik Trans Semarang bolak-balik tanpa kejelasan.

Tantangan di Balik Layar

Sejak GIIAS pertama kali mampir ke Semarang, kategori "blogger" itu nggak pernah ada. Kami, para penulis independen, harus ngotot masuk lewat jalur "rekomendasi" atau "personal media". dotsemarang selama ini beruntung. Tapi, di tahun ini, tantangannya jauh lebih berat.

Penyelenggara semakin ketat. Kriteria yang dicari itu sekarang sudah macam-macam: harus punya kantor fisik, data jurnalis resmi, sampai tetek bengek legalitas. Saya sempat pasrah karena merasa impossible bersaing dengan media besar yang punya backingan kuat.

Drama ID Card Media GIIAS 2025? Jangan ditanya. Sampai sehari sebelum event buka, kabar kelolosan ID card belum juga muncul. Kontak yang dikasih saat konferensi pers ngilang tak berbalas. Mau nggak mau, jurus last minute dipakai: DM akun Instagram resmi GIIAS. Syukurlah, masalah selesai, dan saya akhirnya bisa menginjakkan kaki lagi di Muladi Dome, venue baru GIIAS 2025 yang megah.

Dinamika dengan Merek

Hari pertama GIIAS selalu seru. Deretan mobil listrik canggih, launching mobil baru, dan teknologi otomotif terkini. Tapi, kali ini ada satu hal yang bikin hati sedikit mencelos.

Dulu, hampir semua media yang hadir di press conference itu dapat akses yang sama: rilis berita lengkap, goodie bag, dan kadang ada uang transport tambahan. Tahun ini, trennya berubah drastis.

Beberapa merek sudah punya daftar media undangan yang sangat selektif. Nama dotsemarang? Kosong. Nggak ada di daftar mereka. Rasanya agak awkward saat datang bareng rekan media lain, tapi ternyata aksesnya beda. Mereka dapat goodie bag atau akses eksklusif, sementara saya hanya bisa ngeliput dari pinggir booth.

Ini bukan soal materi, tapi soal pengakuan. Wajar sih, merek pasti mencari exposure maksimal, jadi mereka mengundang influencer besar atau media resmi yang dianggap high-impact. Tapi, sebagai blog lokal yang konsisten bawa vibe Semarang, rasanya ada rasa pahit melihat tren ini.

Nilai Sebuah Konten

Pas konferensi pers, GIIAS memang ngasih kartu BCA Flazz Rp200 ribu buat transportasi dan makan siang gratis. Lumayan sih, tapi pas pameran utama beberapa hari kemudian? Nihil.

Memang selama pameran berlangsung ada ruang media yang nyediain makan siang gratis dan cemilan, tapi tetap saja kali ini buat saya tidak bersemangat.

Tapi, kalau dipikir-pikir, nulis liputan itu butuh waktu, tenaga, dan biaya lain, seperti transport naik Trans Semarang bolak-balik atau bahkan cicilan pay later yang masih nunggu dilunasin. Konten di dotsemarang, yang biasanya bawa cerita lokal Semarang dengan gaya santai, rasanya nggak sepenuhnya dihargai sepadan.

Di Instagram, sekali posting saja saya bisa kasih tarif Rp250 ribu. Masa event sebesar GIIAS, yang bikin saya rela bolak-balik ke Muladi Dome, cuma dinilai segitu? Tapi, di sisi lain, saya sadar kalau blogging itu lebih dari sekadar uang. Ada kebanggaan bisa bawa nama Semarang ke kancah nasional, apalagi sebagai blogger independen yang berjuang sendiri.

Refleksi dan Harapan

GIIAS Semarang 2025 tetep punya momen seru. Mulai dari mobil listrik terbaru yang bikin takjub, sampai booth interaktif yang bikin pengunjung betah. Tapi, tahun ini saya cuma datang dua hari, beda sama tahun-tahun sebelumnya yang hampir tiap hari hadir. Bukan cuma karena lelah fisik, tapi juga karena mulai mempertanyakan apakah perjuangan ini sepadan.

Jadi blogger independen itu memang penuh perjuangan, apalagi di era di mana media besar dan influencer mendominasi. Tapi, dotsemarang punya tempat spesial sebagai suara lokal Semarang. 

Apakah ini tahun terakhir buat dotsemarang di GIIAS? Belum tahu. Tapi, kalau tahun depan event ini balik lagi ke Semarang, saya ingin datang dengan energi baru—mungkin dengan strategi yang lebih matang, atau malah rehat sejenak biar nggak capek naik Trans Semarang bolak-balik.  

Yang pasti, blogging akan tetap jadi cara terbaik saya untuk menceritakan Semarang, kota yang selalu punya kisah.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Mengenal Istilah Jam Kerja Hotel; Split atau Double Shift