Pria Tidak Berdaya
[Artikel 6#, seni bertahan hidup] Hari kedua di bulan Oktober, saya harus terima nasib terjebak dalam skenario yang benar-benar di luar kepala. Sore itu, waktu terasa lambat sekali, apalagi buat mereka yang mendamba cepat-cepat sampai rumah. Tapi, saya malah mandek di depan Pasar Mrican. Pertanyaan klise muncul: apa sih yang sebenarnya saya lakukan di sini?
Kamu mungkin ingat cerita saya sebelumnya soal rice cooker mini kesayangan yang colokan listriknya kembali rewel. Padahal, belum genap sebulan rasanya benda mungil itu diperbaiki, tapi kok ya sudah ngadat lagi. Saya mulai berpikir, daripada harus mengeluarkan uang perbaikan yang nominalnya sudah setengah harga barang baru, lebih baik saya cari alternatif.
Akhirnya, saya coba peruntungan mencari barang bekas di Facebook Marketplace. Alhamdulillah, ada yang jual!
Setelah berkomunikasi, penjualnya setuju menurunkan harga dari Rp30 ribu menjadi Rp20 ribu. Maklum, harga barunya saja hanya berkisar Rp30 ribuan, jadi saya rasa menawar lebih murah adalah sebuah kewajiban.
Tak butuh waktu lama, kami bersepakat untuk bertemu keesokan harinya. Sambil menunggu hari H, saya harus putar otak, gimana cara saya bisa makan dulu hari ini?
Sebelumnya, saya sempat "diselamatkan" oleh rice cooker di rumah. Saya berniat menggunakannya lagi. Namun, entah kenapa, rice cooker itu kini seolah lenyap dari peredaran, bahkan saat saya cari ternyata sudah didalam kulkas—alasannya karena masih ada sisa nasi.
Saya benar-benar tidak mengerti situasinya. Biasanya setelah dipakai pasti akan langsung dicuci atau ditaruh di tempat cucian.
Apa mungkin ini ada kaitannya karena kemarin saya sempat menggunakannya, dan pemilik rumah jadi merasa kurang sreg atau kesal? Kondisi ini sejujurnya membuat saya sedikit kesal. Niatnya mau pakai, eh malah begini. Ah, sudahlah.
Memang benar kata pepatah, kudu punya milik sendiri. Rasanya ingin cepat waktu berganti ke esok hari. Untuk hari ini, lebih baik saya putuskan beli makanan di warteg saja. Awal bulan, drama rumah sudah menyapa duluan.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Tapi sebelum itu, saya kembali dihadapkan pada dilema sarapan dan makan siang. Tanpa rice cooker mini, anggaran awal bulan yang sudah saya susun rapi agar hemat, malah jadi boncos.
Lagi-lagi, saya harus beli nasi bungkus di warteg hari ini. Karena suasana hati sedang kurang kondusif, saya ikut-ikutan beli jajanan. Saya tidak hitung sudah berapa banyak uang yang keluar, padahal pengeluaran makan saya biasanya hanya Rp8 ribuan untuk seminggu penuh.
Saat saya mencoba menghubungi penjual, pesan yang saya kirim tidak kunjung dibalas. Bahkan, saya coba telepon pun tidak diangkat. Apa yang terjadi? Kecemasan mulai menyergap, membuat saya bersikap was-was.
Bagaimana jika tidak jadi? Apa saya harus beli baru? Kalau beli di online shop, butuh berhari-hari, dan uang saya akan terus terkuras untuk biaya makan harian. Jika beli di toko, harganya pasti lebih mahal dari online shop. Dilema batin ini tanpa sadar ikut memengaruhi mood menulis saya hari ini.
Beberapa jam kemudian, penjual akhirnya menghubungi. Kesepakatan tetap berjalan: bertemu sore hari di depan Pasar Mrican. Syukurlah, meskipun ada sedikit rasa cemas karena malamnya saya sudah ada janji untuk bermain mini soccer.
Jarak dari rumah ke Pasar Mrican hampir dua kilometer. Semoga saja saya tidak terlalu lelah dan membuang waktu.
Saya sangat bersemangat mengayuh sepeda menuju tujuan. Saking semangatnya, saya tiba sebelum waktu yang disepakati, yaitu pukul 5 sore. Saya merasa senang bisa melewati kemacetan dengan bersepeda. Rasanya seperti mengolok mereka yang terjebak di dalam mobil, karena begitu mudahnya saya bisa menyalip dan melewati mereka.
Setelah tiba, saya mulai menunggu. Saya lupa, baterai ponsel saya sudah tidak bisa diajak kompromi. Karena waktu menunggu terasa cukup lama, tanpa sadar baterainya sudah terkuras habis. Padahal, transaksi nanti rencananya akan dibayar non tunai atau transfer. Dilema punya ponsel yang baterainya cepat habis!
Sore semakin gelap, suara azan mulai terdengar dari masjid, tapi penjualnya belum datang juga. Demi rice cooker mini bekas, saya rela terjebak dalam situasi seperti ini. Sejujurnya, awal bulan ini terasa kurang menyenangkan untuk dijalani. Semoga saja lembaran hari-hari berikutnya akan ada kabar yang lebih baik.
Setelah menunggu sekian lama, penjual akhirnya tiba. Hanya saja, tempat kami bertemu sedikit berubah karena penjualnya berhenti di sebuah minimarket. Sementara itu, saya yang sudah menunggu hampir satu jam, malah menunggu di depan ruko yang terpampang tulisan "Dijual".
Rice cooker-nya ternyata sama persis seperti yang saya miliki, hanya beda merek saja. Setelah transaksi selesai, saya langsung bergegas pulang.
Macetnya jalanan saat pulang itu seolah seperti pepatah bijak yang mengatakan bahwa hidup memang tidak mudah diprediksi, bahkan sekalipun kita sudah menjalaninya dengan sebaik mungkin.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar