Catatan

Pria Tidak Berdaya

Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh.

Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat. 

Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar.

Hampa di Tengah Keramaian

Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke dompet keluarga atau tagihan rutin. 

Mereka punya anak-anak yang jadi alasan untuk bangun pagi, tawa yang mengalihkan kekhawatiran. Dan istri—seseorang yang tak hanya jadi pendamping, tapi juga cerminan keberhasilan di mata dunia. 

Aku? Aku sering terdiam di kamar, ditemani laptop dan pikiran yang berkelana ke mana-mana, mencoba mencari makna dari “berdaya” versi diriku sendiri.

Kadang, aku membayangkan punya seseorang di sisi. Bukan hanya untuk mengisi kekosongan, tapi untuk berbagi tawa, cerita, atau bahkan keluh kesah kecil soal hidup. 

Tapi di usia ini, bermimpi soal cinta pun terasa berat. Rasanya semesta seperti berbisik, “Kamu cukup sendiri dulu.” Meski begitu, di sudut hati, aku masih berharap ada seseorang di luar sana yang mau melihatku apa adanya—dengan segala kekurangan, dengan segala keraguan, dengan segala mimpiku yang kadang terasa mustahil.

Keberuntungan: Cahaya di Ujung Terowongan

Pernah baca di suatu komik bahwa keberuntungan juga adalah kemampuan. Aku percaya itu. Di tengah rasa tidak berdaya, aku masih merasa punya secercah keberuntungan yang menempel di hidupku. 

Mungkin bukan keberuntungan besar seperti memenangkan lotre atau mendadak jadi bos besar. Tapi keberuntungan kecil—seperti masih bisa menulis, masih punya semangat untuk bermimpi, atau bahkan sekadar bangun di pagi hari dengan harapan baru.

Tema “Pria Tidak Berdaya” ini bukan akhir, tapi awal. Aku ingin menjadikan usia 39 sebagai titik tolak untuk memahami diriku lebih dalam. Aku mungkin belum punya kekuatan seperti pria lain yang sudah mapan, belum punya kemampuan untuk mengubah hidup dalam semalam. 

Tapi kemauan? Itu masih ada, membakar pelan tapi pasti di dalam dada. Aku ingin menulis lebih banyak, mencari cerita baru, dan—siapa tahu—menemukan keberuntungan dalam karier, cinta, atau sekadar kedamaian batin.

Ke Depan dengan Kemauan

Di blog ini,  aku akan terus menuangkan cerita-cerita kecilku. Tentang pria yang kadang merasa tak berdaya, tapi tetap punya kemauan untuk melangkah. Tentang Semarang yang kucintai, tentang mimpi yang masih kutitipkan pada bintang-bintang, dan tentang harapan bahwa suatu hari aku bisa berdiri lebih teguh. 

Mungkin tak selalu kuat, tapi setidaknya punya cerita yang layak diceritakan.Selamat ulang tahun, diriku. Mari kita sambut 39 dengan keberanian untuk tetap bermimpi, meski kadang terasa tak berdaya.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Pulang Pergi ke Hotel The Wujil Resort & Conventions