Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Pekerjaan Baru di Rumah

[Artikel 84#, kategori rumah] Ada-ada saja yang terjadi di rumah akhir-akhir ini. Ketika kita ikut menikmati suasana, mau tak mau harus patuh pada aturan tak tertulis yang dinamakan "kedewasaan". Menolak? Bersiaplah menghadapi sanksi sosial yang kadang lebih pedih dari kata-kata.

Setelah belasan tahun tinggal di Semarang, saya tak pernah menyangka arah angin akan berubah begitu drastis. Penghuni baru datang, mengakuisisi ruang yang dulu begitu akrab. Dari sekadar tamu, kini mereka menjadi tuan rumah. 

Dinamika berubah, dan saya, yang terbiasa dengan harmoni yang sudah tercipta bersama orang-orang dekat, mendadak merasa seperti orang asing di rumah sendiri.

Benar kata orang, perempuan memang sulit ditebak. Apalagi di era sekarang, ketika logika dan perasaan sering bertabrakan. Mungkin karena mereka makhluk perasa? 

Atau karena saya, seorang Cancer yang sensitif, justru mudah terseret arus emosi mereka? Entah kenapa, saya merasa klop sekaligus kewalahan menghadapi gelombang perubahan ini.

Saya sering bertanya-tanya, akankah saya juga berubah setelah menikah kelak? Akankah sikap saya terhadap orang-orang di sekitar ikut bergeser? Yang jelas, kini saya sedang belajar dari cermin orang lain. 

Pria yang dulu bebas, kini seolah tunduk pada aturan tak kasat mata. Cara mereka berinteraksi dengan dunia pun berubah—lebih hati-hati, lebih terukur, tapi entah mengapa, terasa kurang hidup.

Di tengah semua ini, saya memilih berdamai dengan diri sendiri. Seperti kata pepatah, "Kalau masih miskin, tolong diri sendiri dulu. Kalau sudah kaya, baru tolong orang lain." Untuk saat ini, saya hanya bisa berbisik pada diri sendiri: "Ini akan berlalu."

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Mengenal Istilah Jam Kerja Hotel; Split atau Double Shift

Pria Tidak Berdaya