Pria Tidak Berdaya

[Artikel 84#, kategori rumah] Ada-ada saja yang terjadi di rumah akhir-akhir ini. Ketika kita ikut menikmati suasana, mau tak mau harus patuh pada aturan tak tertulis yang dinamakan "kedewasaan". Menolak? Bersiaplah menghadapi sanksi sosial yang kadang lebih pedih dari kata-kata.
Setelah belasan tahun tinggal di Semarang, saya tak pernah menyangka arah angin akan berubah begitu drastis. Penghuni baru datang, mengakuisisi ruang yang dulu begitu akrab. Dari sekadar tamu, kini mereka menjadi tuan rumah.
Dinamika berubah, dan saya, yang terbiasa dengan harmoni yang sudah tercipta bersama orang-orang dekat, mendadak merasa seperti orang asing di rumah sendiri.
Benar kata orang, perempuan memang sulit ditebak. Apalagi di era sekarang, ketika logika dan perasaan sering bertabrakan. Mungkin karena mereka makhluk perasa?
Atau karena saya, seorang Cancer yang sensitif, justru mudah terseret arus emosi mereka? Entah kenapa, saya merasa klop sekaligus kewalahan menghadapi gelombang perubahan ini.
Saya sering bertanya-tanya, akankah saya juga berubah setelah menikah kelak? Akankah sikap saya terhadap orang-orang di sekitar ikut bergeser? Yang jelas, kini saya sedang belajar dari cermin orang lain.
Pria yang dulu bebas, kini seolah tunduk pada aturan tak kasat mata. Cara mereka berinteraksi dengan dunia pun berubah—lebih hati-hati, lebih terukur, tapi entah mengapa, terasa kurang hidup.
Di tengah semua ini, saya memilih berdamai dengan diri sendiri. Seperti kata pepatah, "Kalau masih miskin, tolong diri sendiri dulu. Kalau sudah kaya, baru tolong orang lain." Untuk saat ini, saya hanya bisa berbisik pada diri sendiri: "Ini akan berlalu."
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar