Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Kehangatan yang Kembali, Sekilas namun Berarti

[Artikel 83#, kategori rumah] Langit Semarang pagi ini cerah, sinarnya lembut menyapa. Tapi di sudut hati, ada rasa sepi yang merayap. Kehangatan rumah yang sejak awal Juni begitu hidup kini perlahan memudar. Keluarga kedua saya, “pemilik” rumah ini, telah kembali ke Samarinda.  

Hari itu, Jumat, 13 Juni 2025, suasana pagi terasa begitu haru. Si bungsu dan keluarga kecilnya tampak paling terpukul, meski mereka masih sempat mengantar hingga bandara. Sorot mata mereka penuh campuran rindu dan doa. Saya hanya bisa membayangkan betapa berat hati mereka melepas kepergian ini.  

Sebenarnya, ada rencana awal untuk pulang lewat Yogyakarta. Si Bapak, dengan sifatnya yang tak ingin merepotkan, sempat ingin menyewa mobil sekali jalan ke Jogja. Untunglah, rencana itu urung terlaksana. Si bungsu, dengan kepiawaiannya, berhasil merayu sang “bos besar” untuk memilih opsi yang lebih aman.  

Sebagai alternatif, ada opsi lama: saya yang mengantar mereka ke Jogja. Tapi, setelah mempertimbangkan biaya dan tenaga, pulang lewat Semarang jadi keputusan terbaik. Keras kepala Bapak akhirnya luluh juga, menerima saran anak bungsunya dengan hati terbuka.  

Saya sendiri hanya bisa mencium tangan Bapak dan Ibu, berpamitan dengan doa sederhana. “Semoga selalu sehat dan panjang umur,” batin saya. Mereka bukan hanya keluarga yang datang dan pergi, tapi juga pembawa kehangatan yang membuat rumah ini terasa lebih hidup, meski hanya sebentar.  

Terima kasih untuk tawa, cerita, dan kebersamaan yang kalian bawa. Meski saya hanyalah bagian kecil dalam kisah ini, momen ini terasa begitu berharga. Sampai kita bertemu lagi di waktu yang lain.  

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya