Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

11 Bulan: Mata Air di Padang Pasir

[Artikel 17#, kategori Keuangan] Kedatangan pemilik rumah—keluarga—bagaikan mata air yang menyegarkan di tengah padang pasir kehidupan. Apakah ini akhir dari penantian panjang, atau hanya oase sementara? 

Bulan ke-11 menjadi titik balik, memutus rantai kepasrahan dan mengajarkan hikmah berharga: kesabaran adalah kunci. Selama kita bertahan, esok yang lebih baik pasti tiba. Indah pada waktunya.

Kelegaan Sementara

Kehadiran mereka membawa kehidupan baru. Berat badanku bertambah, seolah aku kembali ke masa sebelum bulan ke-11 ini. Meja makan yang biasanya sepi kini penuh hidangan mewah. 

Stok dapur yang tadinya sunyi kini berlimpah. Pemandangan langka yang menghangatkan hati, mengobati rindu akan kebersamaan dan kelezatan yang lama hilang.

Bayang-Bayang Ketidakpastian

Namun, meski perut terpuaskan, dompetku masih kosong. Penghasilan sebagai blogger belum stabil, pemasukan pun serupa fatamorgana—terlihat dekat, namun sulit digapai. 

Ketika keluarga pergi nanti, aku tahu perjuangan akan kembali menanti. Keuangan terus membara, memaksaku mencari celah di tengah kesulitan yang nyaris tak terlihat.

Godaan dan Keyakinan

Sering kali godaan datang, “Tinggalkan saja kota ini! Dotsemarang tak memberimu apa-apa. Pergi ke tempat lain, hidupmu akan lebih baik.” Kata-kata itu menggema, seolah menjanjikan surga di luar sana. 

Tapi aku masih yakin pada apa yang telah kurintis. Setiap hari adalah perjuangan—hati berusaha setia, meski realita sering berkata sebaliknya.

Aku hanya perlu bersabar, seperti di bulan ke-11 ini, menanti waktu yang tepat untuk memetik manisnya buah kesabaran. Lama? Pasti. Tapi aku yakin, perjuangan ini tak akan sia-sia.

Jalan yang Kupilih

Jika kutinggalkan semua dan memulai dari nol, perjuanganku selama ini bagaikan ampas—waktu, memori, dan kenangan yang menguatkanku seolah tak berarti. Tidak, aku memilih bertahan. Mempertahankan mimpi yang telah kutanam sejak awal, meski penuh liku.

Momen untuk Dinikmati

Untuk saat ini, biarlah aku menikmati kehadiran keluarga. Mereka menghangatkan suasana, melepas dahaga kasih sayang, dan mengisi perut yang selama ini hanya merasakan hidangan sederhana yang itu-itu saja.

Terima kasih, Tuhan, atas karunia ini. Momen ini adalah pengingat bahwa di tengah perjuangan, ada cahaya harapan yang selalu menyala.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Mengenal Istilah Jam Kerja Hotel; Split atau Double Shift

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh