Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

9 Bulan : Dapat THR?

[Artikel 14#, kategori Keuangan] Lebaran Idulfitri yang diharapkan ternyata tidak sesuai. Momen bahagia yang dibagikan seakan hanya pemanis bagi yang merayakan. Tertunduk lesu karena harus mencari ide agar dapat terus bertahan hidup dari hutang.

Saya tidak menyangka di umur sekarang masih mendambakan diberi THR atau Tunjangan Hari Raya. Padahal dari segi umur sudah tidak muda lagi dan dianggap mandiri.

Namun kenangan indah masa anak-anak yang begitu menyenangkan ternyata hanya jadi beban di umur sekarang. Saya pikir dapat mengulangnya kembali, ternyata benar-benar seakan disuntik mati. 

Permasalahan lain

Bulan ini sudah berjalan ke-9, beberapa bulan lagi akan genap setahun. Dari sisi kalender masehi, ini pun belum setengah tahun. Tapi perasaan was-was makin mengkhawatirkan.

Gagalnya mendapatkan THR memang sudah diprediksi meski tetap berharap lebih. Saya pasrah dengan keadaan dan terus bersabar sambil mengharap keajaiban.

Saat menunggu, keputusan meminjamkan uang sisa kepada si Bapak akhirnya menjadi bumerang tersendiri saat ditagih.

Ya, orang tua kandung. Ngapain juga ditagih-tagih, toh sampai mati pun tidak akan dapat membalas jasa-jasanya jika melihat persepektif sebagai anak.

Sayangnya persoalan ini tidak sesederhana tersebut. Saya memberikan uang kepada beliau karena ada perjanjian meski tidak ada hitam di atas putih.

Dari awal saya menegaskan untuk mengembalikan sebelum tanggal 10 awal bulan ini. Hasilnya saat ditagih, saya merasa mengulang masa lalu. Alasan yang super panjang dan stop, saya tidak ingin ribet.

Uang yang harus saya bayar cicilan harus kembali, itu saja. Saya tidak bisa melihat hubungan darah ketika saya sendiri sudah kesulitan.

...

Saya berada di 2 sisi berbeda tentang arti kepercayaan. Satu dengan keluarga sendiri dan satunya dengan keluarga yang juga mempercayai saya menjaga tempat tinggalnya.

Saya ingin menjaga kepercayaan tersebut, tapi bagaimana dengan isi perut saya. Pekerjaan saya tidak baik-baik saja dan rasanya sulit bahwa orang terdekat saya kembali yang merusaknya.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat