Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Halo April 2025

[Artikel 150#, kategori catatan] Saat kembali setahun lalu di bulan yang sama, keadaannya tampak berbeda dengan sekarang. Tahun lalu penuh kegembiraan tapi juga kekhawatiran, tapi tahun ini penuh kesunyian tapi kegembiraan. Bisa berubah gitu ya?

Halo, April 2025 yang jatuh pada hari Selasa (1/4). Karena masih hari ke-2 lebaran, tentu tidak ada status seperti biasanya yang saya tulis dengan kalimat 'berjibaku di lapangan futsal'. Apakah futsal perdana bulan ini jatuh pada hari Kamis?

Entahlah, saya harap bisa segera bermain karena kalau kelamaan libur khawatirnya perasaan tenggelam dalam kesunyian akan membuat saya lupa bagaimana tertawa.

Hidangan hari raya

Tahun lalu memang lidah saya sangat dimanjakan saat menjalani lebaran. Namun sekarang tentu tidak lagi. Untuk itulah saya menyiapkan hidangan sendiri berupa bumbu pecel dan tempe.

Rasanya ini juga termasuk mewah karena beberapa edisi lebaran dalam 5 tahun sebelumnya, saya pernah hanya makan mie saja. Dan setidaknya, keinginan makan opor sudah terpenuhi saat di bulan puasa saat buka di salah satu masjid di Kota Semarang.

Bumbu pecel yang saya beli harganya lumayan bisa beli beras 1 kg. Sedangkan tempe, sudah terbeli sebelumnya beberapa hari usai mengantar si bungsu dari bandara.

Hanya mencampur kedua bahan dan tinggal makan, tidak ada yang spesial karena saya juga bukan ahli masak. Setidaknya makan tempe yang diiris-iris kecil kali ini punya toping kacang yang nikmat.

Keluarga adalah fondasi utama

Melihat keluarga pemilik rumah berfoto dengan wajah bergembira dan full skuad, itu sangat menular kebahagiaannya. Terkadang saya iri bahwa saya tidak memiliki kenangan foto bersama.

Orang tua yang masih utuh, anak-anak yang sudah memiliki pasangan dan bahkan memiliki anak. Semua kebahagiaan tersebut tentu tak lepas dari kedua orang tua yang masih jadi pilar utama bagi anak-anaknya.

Meski sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri, orang tua tetaplah ibarat fondasi sebuah bangunan yang akan terus membimbing dan menjaga kestabilan semua kepala (anak-anak hingga cucu-cucunya).

Saya? Ah, tidak. Susah untuk menjelaskan ketika ingin bermimpi yang sama. Bukan karena kurang pendidikan, tapi karena hasrat yang salah sejak awal keluarga saya berjalan.

Apalagi sekarang tinggal hanya Bapak, di mana saat keduanya masih bersama mereka juga tidak begitu didukung oleh orang tua (kakek nenek). Mengharapkan seperti keluarga orang lain sangat sulit. 

...

Saya baik-baik saja hingga tulisan ini saya buat. Hanya sedikit agak kurus meski sudah sebulan penuh sepanjang bulan puasa mendapatkan asupan gizi yang baik. Entah kenapa berat badan masih juga sama.

Selamat datang bulan April, semoga saya siap dengan tantangannya dan tetap bertahan agar terus menulis dan memberi kabar.

Saya merindukan momen-momen masa lalu, terutama keluarga dan pasangan.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat