Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Jodoh di Tangan Tuhan

[Artikel 2#, kategori tak berdaya] Pernahkah kamu mendengar frasa itu? Jodoh di tangan Tuhan. Di usia saya sekarang, entah mengapa maknanya terasa begitu relevan. Tentu, saya sangat berharap memiliki pasangan. Tapi, jika Tuhan belum berkehendak, apa daya?

Pikiran saya sering berkelana, membandingkan dulu dan sekarang. Dulu, rasanya mencari pacar atau mendekati gebetan tidak serumit ini, yang harus memikirkan segala hal. 

Ibarat naik motor, dulu rasanya tinggal gaspol di jalan setapak, terabas saja. Tapi sekarang, seperti sedang berkendara di jalan raya yang penuh rambu: ada rambu berhenti, ada rambu hati-hati, dan segalanya harus diikuti.

Menunggu Ketetapan Tuhan

Bukan berarti saya tidak berusaha. Saya masih mencoba mencari jodoh, termasuk lewat jalur daring. Hanya saja, di usia sekarang, rasanya jauh lebih berat. Terutama ketika bicara soal pandangan hidup. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu: "Nanti kalau menikah dengan saya, kamu bisa bahagia enggak? Kalau bahagia, kamu tidak akan selingkuh atau minta cerai, kan?"

Pikiran-pikiran seperti itu seharusnya tidak muncul, tapi itulah yang terjadi jika kita terlalu sering terpapar media sosial. Gambaran pernikahan ideal yang dulu saya impikan, yang saya lihat dari kedua orang tua, seolah sulit ditemukan di era sekarang.

Ditambah lagi, kesuksesan yang diharapkan dari saya sebagai seorang pria tak kunjung tiba. Pekerjaan yang bisa dibanggakan, harta berlimpah, aset mobil mewah, dan rumah pribadi—semuanya belum melekat pada saya, yang kini berusia 39 tahun.

Langkah terasa semakin berat saat dihadapkan pada realita, ketika saya masih menginginkan pasangan yang diidam-idamkan: cantik, putih, dan baik. Apakah hidup saya ini ibarat si pungguk merindukan bulan?

Pada akhirnya, saya hanya bisa berserah pada Tuhan. Menunggu-Nya memberikan jodoh terbaik yang Dia turunkan. Entah wanita seperti apa yang akan datang. 

Atau sebaliknya, karena saya merasa miskin, Tuhan merasa kasihan pada saya maupun calon jodoh saya. Jika dipaksakan bersatu, mungkin yang ada hanya cerita penderitaan yang akhirnya berujung perpisahan.

Tuhan memiliki takdir dan rencana terbaik untuk setiap umat-Nya. Meskipun sudah berusaha dan berjuang—bahkan sampai merasa tersakiti—tapi apa yang diinginkan belum juga datang.

Andai saja saya lahir dari keluarga kaya, saya ingin memutar waktu dan berkata "iya" ketika orang tua meminta saya menikah di usia muda. Tanpa latar belakang orang kaya dan keluarga yang baik, mencari pasangan terasa lebih sulit. Sebab, yang kita nikahi bukan hanya pasangannya saja, melainkan seluruh anggota keluarganya.

Semoga Tuhan membaca tulisan ini dan tidak lama lagi memberikan jodoh-Nya kepada saya. Amin.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Mengenal Istilah Jam Kerja Hotel; Split atau Double Shift