Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat. Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Menikahi Wanita Berarti Menikah Dengan Semua yang Menyayanginya
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
[Artikel 10#, kategori pria 31 tahun] Saya seperti terdampar di sebuah tempat yang tidak ada jaringan Internet. Saya seperti hidup tak segan, mati pun enggan. Padahal kehilangan beberapa hari tidak menulis bukan karena itu penyebabnya. Ketakutan tentang kehilangan motivasi menulis blog rasanya mulai terasa gejalanya.
Lama nggak update blog, saya malah membawa tulisan yang agak berat bagi nalar yang merasa benar. Saya banyak bertemu orang-orang ini yang entah sejak kapan yang awalnya saya hormati berubah tidak hormat karena mengurusi hidup orang lain. Mereka seolah paling benar karena sudah melakukan.
Saat tulisan ini tuangkan, saya sedang bersepeda membeli makanan kucing. Jembatan yang saya lewati penuh warna-warni yang seolah mengatakan begitulah hidup yang harus manusia jalani.
Tiap berpapasan dengan pengendara sepeda motor khususnya wanita yang terlihat menarik saya selalu tertarik dan rasanya, ingin segera menikahinya. Konyol dan bodoh. Pemikiran itu akhirnya dipendam ke dalam lubang terdalam.
Menyebut kata menikah sekarang ini sepertinya sebuah tantangan. Bukan karena saya tidak move on dari masa muda di bawah usia 25 tahun yang masih ingin bersenang-senang. Bukan juga karena saya menggantikan kata jomblo menjadi hidup abadi.
Banyak hal yang saya pikirkan ketika menyebut ini. Sepertinya bukan menyebut, tapi berusaha menyingkirkan.
Namun entah kenapa, judul ini tiba-tiba terselip begitu saja saat saya tadi bersepeda. Seolah menikah itu mudah dan berpegang teguh pada kata-kata orang-orang yang sudah melakukan, semangat.
Menikah dengan wanita berarti menikah dengan semuanya yang dimiliki si wanita. Pemikiran jauh saya seolah melampui mata penjaga gawang yang tidak menyangka gawangnya kebobolan saat adu pinalti.
Benar-benar tidak bisa diprediksi dan penuh kejutan. Begitulah buah pemikiran jauh saya saat ini yang menggiring saya pada sesuatu yang tidak pasti.
Menikah tentu mudah dilakukan dengan syarat ada pasangan dan mampu dari segala hal sebagai calon menantu. Saya, tidak demikian.
Seolah saya seperti pecundang yang tak berani bertindak, saya sedikit mengakui sebenarnya. Mencintai wanita itu memang tidak mudah, menikah yang mudah.
Namun menikah, kita harus juga menikahi keluarganya yang dalam arti bahwa memberikan segalanya kepada mereka berupa rasa hormat, kasih sayang, berkorban dan tentu mendengarkan mereka untuk sesuatu yang dianggap penting.
Saya tidak sekuat itu ternyata.
Hidup saya yang begitu membanggakan bagi diri saya sendiri tidak dapat membuat orang lain bahagia.
Pemikiran saya terus terperosok dan sesekali berharap masa lalu datang menghampiri. Mungkin saja saya berjodoh dengan masa lalu.
...
Tulisan saya mulai konyol. Ini karena sebagian tulisan dibagian akhir saya selesaikan di rumah. Saya menyukai bersepeda meski ke tempat-tempat sederhana. Di sanalah pemikiran saya bisa keluar meski kadang membuat susah dengan berhenti satu titik ke titik lain hanya untuk memindahkan isi kepala ke catatan yang ada di Smartphone.
Kesimpulannya begini bahwa usia seperti saya saat ini, menikah bukan sekedar memberi kasih sayang kepada sang pujaan.
Saya memikirkan bagaimana keluarganya yang begitu bangga terhadap putri kesayangannya harus jatuh kepada pria yang kurang baik. Menikah tak bisa hanya mengandalkan cinta dan kasih sayang saja.
Menikahi keluarganya seperti sebuah cerita film kolosal dimana sang mempelai wanita menjadi permaisuri, dan keluarganya duduk menjadi menteri hingga pejabat tinggi.
Saya harap ini tidak terjadi dengan saya suatu hari nanti. Penutup dengan sebuah lagu dari Sheila On 7 dengan judul Ketidakwarasan Padaku.
Begini rasanya ketika mertua datang ke rumah, nggak enakan. Padahal, cuma menjenguk cucu kesayangan. Tapi rasa malas yang biasa dirasakan sebelum nikah, berubah rasa risih. Serba salah, pokoknya.
[Artikel 17#, kategori Tips] Saya sudah menghitung kira-kira berapa kuota yang dihabiskan untuk menonton siaran langsung sepakbola via streaming. Tentu Anda sekarang bisa mengukur biaya untuk menghabiskan kuota apabila tim kesayangan Anda akan bertanding hari ini.
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat. Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...
Postingan ini terinspirasi dari komentar dari dalam blog ini sendiri. Padahal dari awal, blog merupakan tempat personal branding seseorang. Bila digunakan untuk personal, ia biasanya akan mengisinya dengan curhat, portofolio dan aktivitas. Bagi perusahaan, blog merupakan cerita dibalik mereka sendiri.
Pernah merasakan manisnya dikejar gebetan yang tak menghiraukan bagaimana sakitnya setelah putus suatu hari nanti. Dan akhirnya mereka menjadi pasangan yang selalu setia, pandai mendengar, selalu memberi motivasi untuk saling menguatkan dan menceritakan hal-hal kecil yang tak pernah mereka ceritakan kepada orang lain. Kini setelah putus, jangan berharap cerita manis diawal akan sama. Perlu diketahui terlebih dahulu, sifat buruk ini bukan berarti semua pria diumur 29 tahun akan sama. Ini sebuah judul yang menarik dan penulisnya saja yang mengalami. So, baca saja ceritanya. Kamu seperti kekanak-kanakan, deh. Kenapa tiap punya mantan, hobinya ngajakin balikan. Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dalam sebuah pesan singkat yang terkirim buat saya yang memang berusaha berkomunikasi dengan mantan. Seperti kena serangan jantung tiba-tiba. Dan saya membencinya, marah dan kesal. Marahnya kepada momen yang waktu ia sampaikan. Saya memang bermaksud berbaikan dengan mant...
Komentar
Posting Komentar