Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Ketika Hidup Mengajarimu: Sakit Sendirian di Usia Sekarang, Sungguh Tak Enak Sama Sekali

[Artikel 55#, kategori kesehatan] Awalnya hanya flu biasa. Namun, esok harinya mendadak sebagian tubuh terasa sangat lelah, menggigil kedinginan, dan bagian perut terasa tidak nyaman. Jangan-jangan ini memang sinyal asam lambung naik yang ikut nimbrung.

Saya tidak menyangka sejak Selasa hingga Rabu, saya harus menjalani penderitaan karena sakit ini. Apalagi, momen ini bertepatan saat Real Madrid bermain pada Rabu dini harinya. Nonton sudah tidak khidmat, bahkan sekadar membuka media sosial pun sudah tidak ada gairah.

Betapa Menyedihkannya Sakit Tanpa Pasangan

Inilah rasanya tidak memiliki pasangan di usia yang sudah tidak muda lagi. Ketika demam mendadak ikut hadir dan membuat kening panas, saya ingin sekali meminta tolong agar dikompres. Sayangnya, tidak ada satu pun yang bisa saya harapkan.

Rabu dini hari terasa seperti sebuah medan pertempuran yang harus saya hadapi sendiri. Setiap kali saya mencoba tidur sebentar, saya selalu terbangun. Bagian tubuh dari lutut hingga kaki terasa seolah-olah baru saja menyelesaikan lari sejauh 10 km. Lelah sekali.

Penderitaan ini semakin lengkap. Flu yang sudah ada merambat menjadi demam. Ditambah lagi, asam lambung saya naik yang membuat perut terasa amat tidak enak. Sampai-sampai saya berpikir, jika hari Kamis saya belum juga sembuh, bisa-bisa rencana main bola saya batal.

Pesan Tegas: Miskin, Jangan Sampai Sakit!

Saya menyadari betapa rapuhnya diri saya dalam keadaan begini. Padahal, jika sedang tidak sakit, saya selalu terlihat tangguh dan bisa melakukan segalanya.

Sakit itu butuh biaya. Mulai dari membeli obat-obatan ringan. Jika parah, kemungkinan terburuknya adalah masuk rumah sakit, dan tentu saja, biayanya akan jauh lebih besar.

Saya langsung berbisik pada tubuh saya sendiri, "Plis, jangan sakit seperti ini. Saya masih miskin, cicilan pinjol masih besar, dan pemasukan kita masih kosong. Ayo, sembuh!"

Saya tidak mengerti mengapa sakit ini mendadak datang. Saya ingat, semenjak bermain bola mini soccer pada Senin malam, saya memang sudah mulai flu saat itu. Bahkan, saat bermain pun konsentrasi saya sudah buyar.

Puncaknya terjadi pada Rabu dini hari, saat Real Madrid berlaga di kandang Liverpool (5/11). Sakitnya pun datang tidak main-main, mulai dari pilek, demam tinggi, asam lambung naik, dan berbagai keluhan lainnya.

Semoga saya bisa memetik hikmah yang berharga dari sakit kali ini. Hidup sendirian itu, saat sakit, memang tidak enak sama sekali.

Gambar : Dibuat dengan AI

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh