Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Di Era Media Sosial, Konten adalah


[Artikel 16#, kategori media sosial] Konten adalah? Saya tak bicara tentang pengertiannya di halaman yang kamu baca ini. Tentu saja, apa yang kamu bagikan di media sosial, mulai dari gambar, teks, suara dan video itu disebut konten. Tapi saya bicara hal lain tentang konten itu sendiri.

Saat ini, saya memikirkan tentang perbedaan konten dulu dan sekarang dari apa yang saya lakukan. Dulu, saya harus mencari konten dengan prinsip asli atau original. Apalagi label sebagai bloger, pengalaman adalah kunci bagaimana konten dibuat.

Namun sekarang, konten benar-benar seperti sampah bertebaran di mana-mana. Sangat banyak diproduksi tanpa perlu dicari-cari setengah mati. Meski ada sebagian konten yang tetap harus dicari dengan sangat kerja keras.

Pertanyaannya adalah banyaknya konten yang bertebaran tersebut, apakah cuma dibiarkan begitu saja. Memang bloger butuh user experience, namun saat mereka memiliki keterbatasan, di sinilah peran konten yang tersebar acak itu bisa dimanfaatkan.

Era media sosial benar-benar mengubah cara kerja mendapatkan konten yang dicari. Semisal saya saat benar-benar berhalangan hadir disebuah acara, maka saya mencarinya di media sosial semacam Instagram.

Bila tagar tidak dioptimalkan si penyelenggara, maka jalan satu-satunya melihat lokasi konten yang dibagikan. Konten yang ada di sana, dirajut layaknya kain yang ingin dibuat menjadi sebuah pakaian.

Bagaimana dengan integritas atau nilai dari bloger yang akhirnya membawa konten yang dirajut tersebut ke dalam halaman blog mereka?

Selama ini yang saya lakukan adalah tetap menaruh sisi pendapat pribadi dan beberapa fakta acara di masa lalu yang pernah dibuat. Tujuannya, agar ciri khas blog saya tidak hilang.

Halaman yang dibuat dari merajut konten juga terkadang saya bawa dalam bentuk photoblog. Halaman dengan banyak foto ini bertujuan untuk menampilkan sisi visual dari pengalaman si pemilik foto.

Saya tidak berani mengambil porsi terlalu banyak semisal tidak datang ke sana. Terkadang, konten orisinal saya juga sering dibuat photoblog. Ya, konten seperti ini kadang saya buat karena malas juga menulis panjang-panjang.

Soal keaslian konten

Saya tetap membawa konten yang dibagikan di media sosial semisal dari orang lain dengan cara menyantumkan si pemilik konten. Saya tidak ingin dibilang plagiat atau apalah meski tujuannya baik.

Di luar sana, sebenarnya banyak sekali situs yang melakukan hal seperti yang saya ceritakan sebelumnya. Malah saya terinspirasi dari sana juga.

...

Era media sosial benar-benar mengubah konsep menciptakan konten. Kadang bingung juga saat konten yang bertebaran dimana-mana tersebut dibiarkan.

Bagi seorang kreator konten, memodifikasi semua konten dan dijadikan satu bagian merupakan hal baik yang bisa dilakukan untuk membuatnya lebih berharga.

Selama tidak melakukan kecurangan, konten yang dibawa tidak masalah. Seperti tetap mencatumkan sumber aslinya. Apakah konten masih tetap menjadi raja ?

Di era media sosial, konten adalah sampah yang harus didaur ulang menjadi sesuatu yang lebih berharga. Bila kamu pandai memaksimalkannya, dan berpikir maju, konten orang lain bisa menjadi konten milik kita. 

Pendapatmu?

Artikel terkait :

Komentar

  1. Aku sepakat. Cuma tetaplah dijalur benar walau orang berbelok. Percaya saja nanti akan ketemu jalannya sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuih. Mampir juga di blog pribadi ini. Haha..
      Begitulah sekarang.
      Tantangannya juga ada di kreator konten

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh