Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s...

Futsal Having Fun

[Artikel 150#, kategori futsal] Jika bertemu lawan yang sulit atau tangguh, kalau tidak bisa dilewati, maka hindari. Keseimbangan tim lebih penting. Saya menuliskan kalimat tersebut usai bermain futsal Kamis malam (19/9). 

Performa bagus yang saya tunjukkan awal main, mendadak berubah drastis menjelang berakhirnya waktu sewa lapangan. Saya terpancing dan menjadi kesal.

Waduh, saya baru sadar belum ada posting tentang futsal selama bulan September. Padahal rutin main. Meski akhirnya tulisan ini juga yang jadi tambahan untuk pengalaman di blog.

Percaya diri

Beberapa bulan belakangan saya merasa kemampuan menjaga gawang semakin baik. Saya memiliki tipsnya, tapi itu bukan menu latihan. Kapan-kapan saya ceritain.

Karena merasa lebih baik, performa di lapangan juga menumbuhkan rasa percaya diri yang besar. Saya tidak menyangka main futsal semenyenangkan sekarang. Tapi, jika disuruh milih apakah ingin jadi kiper atau nggak, saya tetap memilih bukan jadi kiper.

Waktu terus bergulir dan karena posisi kiper, saya seperti tidak tergantikan. Boleh lah main 2-3 kali, namun saya sadar bahwa saya di sini dibayarin oleh rekan-rekan. Saya harus tahu diri karna ada rekan lain yang juga ingin main lebih banyak.

Setelah beristirahat usai memberi kesempatan bermain yang lain, akhirnya saya kembali ke lapangan. Percaya diri saya masih terjaga dan rasanya sama seperti main sebelumnya, saya bisa menaklukkan lawan.

Seketika semua berubah drastis. Rekan-rekan lain ternyata ikut terobesesi dan percaya diri tinggi. Mereka ingin tampil lebih baik dengan berusaha melewati pemain lawan.

Naas, wilayah belakang jadi banyak ruang kosong. Dampaknya mudah ketebak, rasa percaya diri saya berubah menjadi rasa amarah. Gawang mudah dibobol. Penjagaan terhadap lawan mudah dilewati dan berbagai erorr terjadi yang membuat saya tak habis pikir kenapa bisa!

Akhirnya salah satu rekan lain yang ikut frustasi meminta posisi saya sebagai kiper. Baiklah, saya berarti maju ke depan sebagai pemain tengah. Posisi yang ideal bagi saya sebenarnya.

Having fun

Bapak-bapak yang ditunggu akhirnya muncul. Penjaga lapangan yang biasanya memberi intruksi bahwa jam sewa sudah habis mengakhiri rasa lelah yang dialami selama di lapangan.

Ada yang salah kali ini dari apa yang saya pikirkan. Saya sepertinya terbawa suasana bahwa kami bermain seakan sebagai pemain profesional di sebuah klub.

Padahal kami semua di sini bermain hanya untuk having fun saja. Ya, hanya untuk bersenang-senang saja karena itu wajar jika rekan-rekan di lapangan ada yang bisa main atau sekedar main.

Saya lupa dengan itu. Malah menjadikan aktivitas ini sebagai pengukuran betapa lebih baiknya saya dari waktu ke waktu. Ah, maafkan saya yang berharap tinggi.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh