Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Bulan Kedua ?

[Artikel 5#, kategori Keuangan] Setelah ditampar kenyataan bahwa jalan ke depan tidak mulus lagi, akhirnya saya pasrah dengan keadaan. Masuk ke bulan kedua runtuhnya perekonomian yang selama ini saya andalkan. Kini, harapannya cuma satu. Apakah harus saya jual juga laptop yang saya miliki?

Akhirnya bulan Agustus terlewati di mana saya memprediksi masa depan saya tidak baik-baik saja. Meski begitu, saya masih berharap ada keajaiban dan itu hanyalah mimpi di siang bolong saja.

Maksudnya bulan September ini semua kembali normal. Tagihan bulanan rumah yang jadi salah satu pemasukan terbesar saya bisa dikirimkan kembali ke rekening.

Ah, tidak! Ternyata memang tidak bisa. 

Diambil alih

Sebuah pesan panjang akhirnya tiba yang memastikan bahwa keuangan rumah diambil alih oleh anak si pemilik rumah. Ia akan bertanggung jawab ke depannya.

Kabar cukup baik seharusnya. Namun tidak dengan saya yang akan paling terdampak. Dulu saat normal, saat dikirimin pembayaran tagihan bulanan rumah, saya masih bisa berharap akan ada uang lebih yang bisa dipakai. Tidak banyak memang, tapi cukup untuk beli beras 5 kg.

Dengan pengambil alihan seperti yang terjadi di bulan kedua (September), itu artinya tidak ada pemasukan yang akan saya kantongi. Jangankan Rp1.000, buat menghiasai isi dompet saja rasanya sulit.

Saya tidak berharap banyak dari pekerjaan sebagai bloger yang Senin Kamis. Kadang ada, kadang tidak. Jika dapat pun, harus nunggu pembayaran hingga lebih satu bulan. Sedangkan keuangan yang stabil atau rutin adalah kiriman (tagihan bulanan). 

...

Periode itu akhirnya tiba. Sesuatu yang saya selalu khawatirkan sejak dulu. Apakah ini jawaban dari doa-doa saya yang selalu meminta diperlancar rejeki? Tidak, tidak. Ini malah sebaliknya.

Rencana saya keluar dari rumah ini di usia 40 tahun, seakan makin dipercepat. Tapi saya ragu karena saya belum punya tabungan. Jangankan tabungan, saya sudah dipaksa tiap bulan harus bayar cicilan dulu.

Mungkin sudah jalannya untuk kembali harus menjual perangkat kesayangan. Saya harap jika ada kesempatan mengulang kehidupan kedua, saya ingin berusaha lebih baik lagi sejak dini.

Mari saling mengkhawatirkan masing-masing.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat