Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

[TikTok] Menggiring Positif, Malah Jadinya Kembali Negatif


[Artikel #21, kategori Media Sosial] Semenjak terinspirasi dengan pemasaran, saya menjadikan saluran media sosial sebagai alat untuk menarik perhatian. Tidak terkecuali TikTok yang punya ladang pemirsa dengan segmen umur 14-22 tahun. Mereka adalah generasi Z.

Beberapa kali saya bicara dengan orang-orang pemasaran, seperti hotel. Kesan negatif yang terekam dalam pikiran mereka memang sudah tertanam jauh saat aplikasi ini hadir awal-awal.

Saya berusaha keras untuk meyakinkan mereka meski akhirnya ditolak mentah-mentah. Orang-orang pemasar memang butuh banyak informasi agar mereka mengerti keadaannya yang dulu dan sekarang sudah berbeda.

Bermaksud menggiring lebih baik

Januari 2020, TikTok mendadak buming kembali. Orang-orang banyak membicarakannya dan akhirnya memutuskan membuat. 

Saya adalah orang yang cukup senang dengan melihat pertumbuhan ini disekitar. Apalagi jumlah pengguna TikTok yang terus mengerjar Facebook dan memepet Istagram. Cukup bagus untuk memasarkan merek di sana, bukan?

Namun yang terjadi tidak seperti yang saya bayangkan bahwa orang-orang akan memanfaatkan TikTok untuk membuat konten kreatif, namun malah untuk bersenang-senang. Ya, mereka kembali ke jaman TikTok yang dulu mereka tidak sukai. Over selfie.

Di luar sana (Indonesia), TikTok adalah tempat para pembuat konten kreatif. Mereka diakui bukan hanya dari centang biru (verifikasi), tapi embel-embel yang tertempel di bionya sebagai pembuat konten.

Saya menyukai konten yang berhubungan dengan memasak, behind the scene, melukis, pemandangan, fotografer, mainan dan lainnya.

Sayang semua harapan itu kandas saat orang-orang yang mencoba terjun ke TikTok yang saya anggap sebagai pembuat konten semacam bloger malah menciptakan konten seperti terlalu berlebihan. 

Sejak awal tahun 2020, saya sudah menggarap proyek yang melibatkan TikTok ke dalam blog dotsemarang. Saya memberitahukan tentang para pecipta konten dan bagaimana mereka membuatnya.
Kesan negatif atau kurang mendapatkan kekuatan di TikTok ingin saya hancurkan. Apakah saya dibayar untuk menggiring ini? Tidak, tidak.

Sekali lagi, ini tentang pemasaran merek. Para pembuat konten, orang-orang kreatif dan orang-orang yang mengerti apa arti konten sebenarnya.

...

Saya tahu tidak dapat memaksakan kehendak pikiran saya kepada setiap orang. Kesenangan yang baru mereka jumpai memang membuat mereka terus melakukannya. Tidak peduli itu membuat merek pribadinya buruk atau sisi lain yang ingin sengaja diperlihatkan.

Semoga saja saya tidak menyerah untuk berbuat baik dan menceritakan sesuatu hal yang lebih menarik dari sekedar di depan kamera.

*Follow TikTok dotsemarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh