Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

[TikTok] Menggiring Positif, Malah Jadinya Kembali Negatif


[Artikel #21, kategori Media Sosial] Semenjak terinspirasi dengan pemasaran, saya menjadikan saluran media sosial sebagai alat untuk menarik perhatian. Tidak terkecuali TikTok yang punya ladang pemirsa dengan segmen umur 14-22 tahun. Mereka adalah generasi Z.

Beberapa kali saya bicara dengan orang-orang pemasaran, seperti hotel. Kesan negatif yang terekam dalam pikiran mereka memang sudah tertanam jauh saat aplikasi ini hadir awal-awal.

Saya berusaha keras untuk meyakinkan mereka meski akhirnya ditolak mentah-mentah. Orang-orang pemasar memang butuh banyak informasi agar mereka mengerti keadaannya yang dulu dan sekarang sudah berbeda.

Bermaksud menggiring lebih baik

Januari 2020, TikTok mendadak buming kembali. Orang-orang banyak membicarakannya dan akhirnya memutuskan membuat. 

Saya adalah orang yang cukup senang dengan melihat pertumbuhan ini disekitar. Apalagi jumlah pengguna TikTok yang terus mengerjar Facebook dan memepet Istagram. Cukup bagus untuk memasarkan merek di sana, bukan?

Namun yang terjadi tidak seperti yang saya bayangkan bahwa orang-orang akan memanfaatkan TikTok untuk membuat konten kreatif, namun malah untuk bersenang-senang. Ya, mereka kembali ke jaman TikTok yang dulu mereka tidak sukai. Over selfie.

Di luar sana (Indonesia), TikTok adalah tempat para pembuat konten kreatif. Mereka diakui bukan hanya dari centang biru (verifikasi), tapi embel-embel yang tertempel di bionya sebagai pembuat konten.

Saya menyukai konten yang berhubungan dengan memasak, behind the scene, melukis, pemandangan, fotografer, mainan dan lainnya.

Sayang semua harapan itu kandas saat orang-orang yang mencoba terjun ke TikTok yang saya anggap sebagai pembuat konten semacam bloger malah menciptakan konten seperti terlalu berlebihan. 

Sejak awal tahun 2020, saya sudah menggarap proyek yang melibatkan TikTok ke dalam blog dotsemarang. Saya memberitahukan tentang para pecipta konten dan bagaimana mereka membuatnya.
Kesan negatif atau kurang mendapatkan kekuatan di TikTok ingin saya hancurkan. Apakah saya dibayar untuk menggiring ini? Tidak, tidak.

Sekali lagi, ini tentang pemasaran merek. Para pembuat konten, orang-orang kreatif dan orang-orang yang mengerti apa arti konten sebenarnya.

...

Saya tahu tidak dapat memaksakan kehendak pikiran saya kepada setiap orang. Kesenangan yang baru mereka jumpai memang membuat mereka terus melakukannya. Tidak peduli itu membuat merek pribadinya buruk atau sisi lain yang ingin sengaja diperlihatkan.

Semoga saja saya tidak menyerah untuk berbuat baik dan menceritakan sesuatu hal yang lebih menarik dari sekedar di depan kamera.

*Follow TikTok dotsemarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya