Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Futsal : Ketika Sifat Kedewasaan Dipertemukan

[Artikel 97#, kategori futsal] Buruk benar-benar buruk main hari ini. Mau jadi kiper maupun pemain. Termasuk rekan-rekan satu tim, seolah mereka baru bermain futsal. Entahlah ada apa. Meski begitu, sedikit bersyukur orang-orang mulai melunak. Tidak menyenangkan ketika hal sepele malah memutus silaturahmi.

Akhirnya saya punya alasan kenapa bermain buruk juga hari ini. Kegiatan beberapa jam sebelumnya ternyata sangat berpengaruh. Tubuh mungkin dikasih rehat sebelum bermain di lapangan. Saya yakin itu masalahnya.

Satu lapangan

Momen yang ditunggu tiba juga. Sudah hampir sebulan, ada beberapa rekan yang terlibat permasalahan. Meski sebenarnya sepele, namun ketika ego merasuk diri, semuanya jadi runyam.

Satu sisi, tidak merasa menyakiti dan benar yang dilakukan. Sisi lainnya terlanjur kecewa karena merasa tidak dihargai. Kesalahpahaman ini mengingatkan saya saat masih Sekolah dulu.

Bila dulu kedewasaan masih dianggap tabu, sekarang malah orang dewasa yang menjadi seolah korban keadaan. Kembali dengan sifat anak-anak yang sebenarnya tidak masalah, asal tahu porsinya.

Keduanya sudah berada di lapangan. Bermain sebagai lawan tapi tetap saling diam. Butuh waktu dan biarkan segalanya kembali saat mereka siap.

Pulang lebih awal

Kamis minggu ini hampir saja seperti minggu lalu, rekan-rekan futsal penuh dengan semangat yang ingin bermain lebih dari batas waktu sewa. 

Dua jam buat sebagian orang memang tidak cukup. Alternatifnya nambah lagi sejam. Kalau begitu, ini malah jadi seperti hari Selasa yang selalu main 3 jam.

Masalahnya adalah nambah sejam, kudu ikut nambah iuran 15 ribu. Saya ingin sekali berpartisipasi seperti minggu kemarin. Namun, isi dompet sudah tidak bisa dikompromi lagi.

Sebagian rekan futsal memang adalah pekerja, wajar mereka tidak sadar bahwa ada orang-orang yang punya keterbatasan.

Akhirnya saya memilih pulang lebih awal. Saya tidak ingin jadi beban buat mereka yang masih bertahan. Toh, hari ini mainnya juga lagi jelek. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh