Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Ketika Reputasi Film Indonesia Sedang Naik, Reputasi Kofindo Turun

[Artikel 22#, kategori Kofindo] Konsisten tidak menjamin sesuatu akan tetap dihargai ketika waktu terus berlalu. Saat sudah tiba di titik tertentu, kita merindukan masa lalu. Apakah bisa diulangi seperti dulu? Momen dimana kita pernah dihargai dengan tinggi. Hari ini, saya merasa di situ. 

Perasaan ini datang tiba-tiba setelah harapan untuk bisa mendapatkan tiket menonton gagal didapatkan. Padahal syaratnya sudah memenuhi, namun tak ada satu pun notif atau ucapan terima kasih sudah berpartisipasi.

Reputasi film Indonesia

Siapa tidak bergairah sekarang ini bila mendengar film Indonesia kembali berkumandang di negeri sendiri dengan suara yang lantang. Film KKN di Desa Penari bisa dibilang bagian dari perjalanan citra film Indonesia kembali bangkit. Khususnya masa pandemi Covid-19.

Hingga saya menulis curhatan ini, ada 5 film Indonesia yang sukses duduk di tangga box office atau 1 juta penonton. Buka di sini untuk melihat daftarnya.

Ini adalah reputasi baik yang perlu terus disebarkan kepada khalayak, baik di negeri sendiri maupun luar negeri. Dan ini yang membuat keterbasan saya yang ingin lampui dengan menonton film Indonesia.

Reputasi kofindo

Meski yang diincar tiket gratisan atau murah seperti yang dilakukan rumah produksi akhir-akhir ini yang menerapkan strategi jual tiket lebih dulu sebelum film dirilis di bioskop.

Nama besar Kofindo yang meramaikan komunitas atau akun yang berhubungan dengan film Indonesia di Kota Semarang ternyata tak mampu membuat tiket yang ditawarkan rekan media kepada saya dengan cara mengikuti kuisnya jadi tertarik.

Seolah akun kofindo anak kemarin sore yang hanya mengincar tiket gratisan. Saya mengerti apa yang kamu pikirkan, namun alasan menonton dengan membawa kofindo itu artinya saya siap dengan konten seperti ulasan (review) dan liputan (dotsemarang).

Harapan tinggi itu yang saya sematkan dalam diri setelah panjang lebar menuliskan alasan kenapa menginginkan tiket langsung hilang kala waktu yang ditunggu tak kunjung datang (pengumuman).

Jangankan menunggu pengumuman, dibalas saja tidak ada. Seolah mengirimkan chat kepada akun robot. Yah, lagi-lagi harapan tinggi tadi yang begitu buat saya bersemangat.

Akhirnya saya merenung tentang bagaimana perjalanan Kofindo dan dotsemarang. Reputasi Kofindo sudah turun drastis. Jangankan mengingat, mungkin orang-orang ditanya tidak ada yang tahu apa itu Kofindo yang pernah namanya saya bawa masuk ke televisi Nasional.

...

Sepertinya saya harus sadar diri dan kembali rendah hati. Di dunia ini, yang lemah tidak akan diperhatikan. Butuh sensasi atau viral agar bisa dihormati atau dikerubuti. 

Kofindo memang sudah jatuh reputasinya sekarang, tapi kofindo masih akan selalu ada selama saya masih berharap ada. Senang bisa mengingat kamu yang pernah bersama Kofindo.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya