Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Tantangan Akun Asli Twitter

[Artikel 14#, kategori Twitter]  Minggu malam (12 Juni) kemarin, saya ngepost tweet tentang kerugian akun asli karena sudah dibranding dengan maksi (maksimal maksudnya). Kira-kira, kamu tahu kenapa saya nge-tweet begitu?

Semenjak akun berbasis base saya follow, tanpa sadar sering kali saya mencuri-curi klik atau ikut komentarin. Sesuatu yang tidak saya lakuin 5 tahun belakangan.

Keuntungannya, followers saya nambah. Sesuatu yang sudah sulit untuk dilakukan akhir-akhir ini. Apalagi eranya terus berganti.

Meski itu kabar baiknya, ada sisi nggak baiknya juga. Hasrat untuk terlibat lebih banyak seperti yang saya tulis di atas (klik atau berkomentar).

Tantangan

Citra atau branding yang sudah dibangun mau tidak mau ikut berdampak. Saya jarang mengambil bagian percakapan apabila tidak kenal atau mengikuti akun-akun yang nggak jelas.

Karena keharusan untuk saling follback, semacam peraturan tidak tertulis, saya harus melihat linimasa saya sekarang banyak bertebaran akun tanpa foto asli atau akun kedua.

Selain itu, jejak-jejak mereka terkadang sangat personal sekali. Mulai dari umpatan, sedih, bahagia hingga kata-kata yang biasanya tidak saya sukai, kini jadi pemandangan biasa.

Terkadang, saya waswas sendiri karena banyak rekan-rekan yang saya kenal baik secara pertemanan maupun profesi ada di linimasa saya.

Algoritma Twitter menambah derita ketika hanya mengklik suka, maka tweet utamanya ngikut ke linimasa pengguna lain. Saya di sini benar-benar jatuh dimata orang-orang.

Buat akun kedua?

Sementara saya tidak berencana, karena akun yang saya kelola juga sudah lumayan banyak. Saya harus siap dengan konsekuensi dari apa yang saya perbuat.

Saya memang sudah harus turun gunung atau maksudnya mengikuti perkembangan era media sosial. Di mana akun base sekarang cukup banyak juga yang melintas. Baik berbasis kota, Sekolah, kampus hingga tema-teman tertentu.

...

Branding? Sialan, baru sekarang kena dampaknya. Semoga orang-orang yang mengenal saya tetap melihatnya sebagai manusia yang terkadang tidak luput dari salah. Saya hanya mencoba sesuatu yang berbeda saja.

Mohon maafkan saya bila tidak lagi sesuai ekspetasi.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya