Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

12 Tahun di Twitter: Ketika Hukum Online Sudah Berlaku

Hari ini, 5 September yang jatuh pada hari Minggu, diingatkan Twitter bahwa perjalanan saya sudah 12 tahun bersama mereka. Apakah itu luar biasa? Apa yang berbeda dengan dulu dan sekarang?

Tidak kerasa, ya. Umurnya lebih satu tahun dari usia dotsemarang. Itu artinya saya membuat dotsemarang bersama teman-teman setelah saya eksis lebih dulu, yaitu tahun 2009. Sedangkan dotsemarang tahun 2010.

Hukum online = netizen

Beberapa tahun terakhir, Twitter seolah menjadi hukum online bagi siapa pun yang menyimpang. Entah itu karena kesalahan atau rasa benci yang ditanamkan.

Sisi baiknya adalah hukum online ini membuat aparat bergerak, orang-orang mulai peduli, lembaga-lembaga ikut turut campur dan kita membicarakannya seolah itu benar.

Sisi buruknya, terkadang membuat pengguna terasa kasar dan menjadi buruk. Apalagi sudah diangkat hingga viral, ternyata bukan yang sebenarnya.

Orang-orang di Twitter yang dulu hanya berbagi info, kini menjadi orang-orang yang lebih bijak, pahlawan dan terkadang percaya diri.

Hukum online tidak mengenal kasta. Ketika menjadi topik perbincangan, bersiaplah akan jadi korban bila melakukan kesalahan. Bahkan, Kepala Negara juga tidak luput dari hukum online ini.

Dan sebaliknya, hukum online dapat memberi keadilan bagi mereka yang mencoba memanfaatkan dengan alih sebagai korban.

Itu luar biasa, bukan. Untunglah kita tinggal di negara yang masih memberikan kebebasan dalam berbicara, khususnya lewat media sosial. Kita patut bersyukur tentunya.

Akun penyamar

Beberapa tahun juga menjadi catatan tersendiri buat saya tentang prilaku orang-orang yang tidak percaya diri.

Personal branding yang seharusnya dapat menolong seseorang yang memiliki keahlian bidang tertentu, sudah benar-benar ditanggalkan.

Twitter adalah tempat curhat, tempat mengeluarkan unek-unek. Syukur-syukur ditanggapin dan menjadi viral. 

Fenomena terjadi karena ini, ditambah banyaknya orang-orang bermigrasi dari Instagram beberapa tahun belakangan.

Orang-orang menggunakan akun dengan wajah berbeda. Dan kebanyakan adalah generasi Z yang mudah sekali terlihat bila ditelusuri aktivitasnya.

Generasi atasnya juga banyak, tapi saya tidak ingin melihat secara keseluruhan semua orang. Ini hanya selintas saja saat melihat.

Akun penyamar ini juga membawa kebisingan lain yang berhubungan dengan KPop atau fans idol dari negara lain. Twitter bagi mereka adalah wadah yang selama ini mereka cari.

Mereka lupa

Ketika orang-orang yang berada di ekosistem seperti saya, pemilik blog, rasanya mereka lupa setelah berada di Twitter.

Mereka lupa punya tempat pekerjaan ketika mereka lelah saat berkicau sambil bersenandung galau dan penatnya hidup.

Mereka lupa siapa mereka yang sudah membangun personal brandingnya bertahun-tahun dan lebih memilih sambat dengan alasan mengeluarkan unek-unek lebih nyaman ketimbang dipendam.

Mereka berbicara setiap kata yang mewakili pikiran mereka yang dianggap sesuatu yang bebas. Itu wajar, dan mungkin saya pun pernah melakukannya.

Saat mereka membangun topik yang disusupi promosi, mereka lupa membangun personal yang selalu membanggakan jati dirinya sebagai influencer atau pembuat konten.

Di Twitter 12 musim, seperti seorang pesepak bola saja yang bakal mengakhiri karirnya dan lalu pensiun. Semoga saya lebih baik lagi.

...

Perubahan arah yang terjadi di media sosial, khususnya Twitter begitu cepat. Mau tidak mau, kita harus ikut arus.

Masalahnya, apakah tetap menjadi polos dengan mempertahankan branding diri. Atau menjadi penonton dan ikut sesekali berkomentar?

Semua orang bisa jadi siapapun di media sosial, pertanyaannya adalah bagaimana kita menjadi salah satunya? Orang baik, orang jahat, orang normal, orang yang hanya sekedar penonton dan masih banyak lagi. 

Bila itu baik menurut kita, ya gunakan pakaian itu (jadi salah satu orang). Bila sebaliknya, tanggalkan. Jadi penonton saja. Toh, tidak ada yang melarang untuk menjadi siapa pun di negeri ini, selamat tidak bawa perasaan.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh