Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Unfollow Twitter


[Artikel 11#, kategori Twitter] Bagaimana rasanya di unfollow orang yang kamu kenal di Twitter? Kesal, marah, kok bisa, jahat dan sebagainya. Saya pernah merasakan itu. Apalagi orang yang dikenal, tidak sekedar say hello saja, dan inspirasi buat saya.

Minggu lalu, saya baru unfollow seseorang. Dan bahkan memikirkan lagi untuk mengakhiri pertemanan di Twitter (unfollow) dengan yang lainnya karena akunnya sudah tidak mewakili personalnya yang selama ini saya kenal.

Ini berbeda dengan perasaan saya saat di-unfollow teman pada jamannya dotsemarang masih ada waktu itu. Tidak menyangka saja itu dilakukan. Mungkin baginya saya saat itu terlalu banyak berbicara di Twitter, sehingga menggangu timeline.

Sedangkan sekarang, saya menemukan fenomena baru tentang akun personal yang sebenarnya si pemilik akun sudah lama membuatnya. Entah apakah alasannya, semua berubah 180 derajat.

Foto avatar berubah menjadi idol. Semua postingan mulai dari teks hingga foto dan video tentang idol. Dan tentu saja, saya langsung meng-unfollow-nya. Meski sebenarnya saya ingin mengirimkan pesan untuk memberitahunya.

Saya tahu saat mengklik tombol unfollow, saya adalah orang jahat. Saya jadi dilematis di sana. Kenangan saat di-unfollow oleh orang yang saya kagumi dulu, langsung terbayang. 

Pikiran saya langsung berbicara dalam tubuh, 'saya seperti orang itu (yang dulu)'. Menganggap benar sendiri dan merasa itu tidak masalah.

Branding

Salah satu kehadiran seseorang di media sosial adalah tentang branding. Saya belajar tentang personal branding hingga sekarang.

Ketika kehadiran saya yang mencerminkan sebagai bloger dan fans bola, saya tentu lebih banyak berbicara tentang itu di timeline.

Dan celakanya, branding ini menjadi pembatas saya melihat seseorang di media sosial. Bila ia adalah bloger, saya memikirkan konten yang dibawanya sama seperti cerminan apa yang dituliskannya.

Jadi ketika akunnya berubah 180 derajat, bukan lagi menjadi akun personal yang saya kenal, maka maafkan saya harus berhenti mengikuti (unfollow).

Saya tidak membencinya, hanya saja saya tidak tertarik dengan konten yang dibawanya. Saya tertarik dengan personalnya. Entah ia bicara branding, curhatnya atau segala hal tentang aktivitasnya.

Saran saya, buat akun baru saja. Memulai hal baru memang berat jika berharap followers. Tapi setidaknya, memberikan keleluasaan pada diri sendiri agar dapat tersalurkan. 

Karna ada orang yang terdampak dan merasa senang berteman. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya