Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Mengambil Alih Pekerjaan

[Artikel 36#, kategori Amir] Dengan tidak tinggal lagi di rumah karna sudah menikah, mau tidak mau pekerjaan yang biasanya dipegang olehnya, terpaksa saya ambil. Ya, terpaksa. Karena tidak ada pilihan lagi. Semoga saya sehat selalu saja.

Dulu, saya sering mengabaikan pekerjaan orang bawah (si Amir) yang disuruh antar jemput ke Jogja dan Semarang. Saat diajak olehnya pun, saya tidak ingin. Toh, pembagian kerjaannya jelas. Saya di rumah bersih-bersih, ngurus tetek bengek dan hal kecil.

Sedangkan urusan jemput menjemput, saya berikan kepadanya. Masa semua saya harus handle. Jangan egois kata saya dalam hati.

Kena karma

Sekarang, pekerjaan saya ambil semua. Meski ada menantu di rumah si pemilik rumah yang juga sangat rajin bersih-bersih. Saya jadi tidak enak sendiri karena dia adalah wanita dengan satu anak dan saya pria single.

Saya seperti terkena karma karena mengambil alih pekerjaan si Amir. Sudah sejak akhir tahun 2022 kemarin hingga sekarang, saya terus bolak-balik antara Jogja dan Semarang.

Pemilik rumah sepertinya sangat menikmati datang ke Jawa turun di bandara Jogja ketimbang Kota Semarang. Dari sisi efisiensi emang, toh bandara dari Jogja bisa langsung menuju bandara Kota Samarinda. 

Tidak perlu ribet seperti dulu sebelum adanya bandara di Kota Samarinda, kita harus pergi ke Balikpapan untuk naik pesawat.

Dampaknya, saya jadi kesulitan sendiri harus menempuh perjalanan jauh dari Semarang ke Jogja. Jika sedang tidak ada kegiatan sih, aman-aman saja. Namun apabila ada kegiatan seperti undangan acara, ini yang buat dilema.

Saya benar-benar dipukul karena ulah saya sendiri. Mungkin saja, jika dulu saya tidak meremehkan pekerjaan antar jemput si Amir, saya tidak mengalami hal seperti dirinya sekarang.

Pekerjaan yang melelahkan terkadang apalagi saat sendirian menyetir. Mengeluh atau mengatakan tidak, belum bisa saya lakukan. Toh, saya masih tinggal dengan mereka. 

Semoga saja, saya selalu diberi kesehatan dan keselamatan saat berkendara. Saya ikhlas melakukan pekerjaan ini karena pemilik rumah adalah bagian keluarga saya juga. 

Sehat selalu buat badan!

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat

Sifat Buruknya Pria 29 Tahun