Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Mengambil Alih Pekerjaan

[Artikel 36#, kategori Amir] Dengan tidak tinggal lagi di rumah karna sudah menikah, mau tidak mau pekerjaan yang biasanya dipegang olehnya, terpaksa saya ambil. Ya, terpaksa. Karena tidak ada pilihan lagi. Semoga saya sehat selalu saja.

Dulu, saya sering mengabaikan pekerjaan orang bawah (si Amir) yang disuruh antar jemput ke Jogja dan Semarang. Saat diajak olehnya pun, saya tidak ingin. Toh, pembagian kerjaannya jelas. Saya di rumah bersih-bersih, ngurus tetek bengek dan hal kecil.

Sedangkan urusan jemput menjemput, saya berikan kepadanya. Masa semua saya harus handle. Jangan egois kata saya dalam hati.

Kena karma

Sekarang, pekerjaan saya ambil semua. Meski ada menantu di rumah si pemilik rumah yang juga sangat rajin bersih-bersih. Saya jadi tidak enak sendiri karena dia adalah wanita dengan satu anak dan saya pria single.

Saya seperti terkena karma karena mengambil alih pekerjaan si Amir. Sudah sejak akhir tahun 2022 kemarin hingga sekarang, saya terus bolak-balik antara Jogja dan Semarang.

Pemilik rumah sepertinya sangat menikmati datang ke Jawa turun di bandara Jogja ketimbang Kota Semarang. Dari sisi efisiensi emang, toh bandara dari Jogja bisa langsung menuju bandara Kota Samarinda. 

Tidak perlu ribet seperti dulu sebelum adanya bandara di Kota Samarinda, kita harus pergi ke Balikpapan untuk naik pesawat.

Dampaknya, saya jadi kesulitan sendiri harus menempuh perjalanan jauh dari Semarang ke Jogja. Jika sedang tidak ada kegiatan sih, aman-aman saja. Namun apabila ada kegiatan seperti undangan acara, ini yang buat dilema.

Saya benar-benar dipukul karena ulah saya sendiri. Mungkin saja, jika dulu saya tidak meremehkan pekerjaan antar jemput si Amir, saya tidak mengalami hal seperti dirinya sekarang.

Pekerjaan yang melelahkan terkadang apalagi saat sendirian menyetir. Mengeluh atau mengatakan tidak, belum bisa saya lakukan. Toh, saya masih tinggal dengan mereka. 

Semoga saja, saya selalu diberi kesehatan dan keselamatan saat berkendara. Saya ikhlas melakukan pekerjaan ini karena pemilik rumah adalah bagian keluarga saya juga. 

Sehat selalu buat badan!

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh