Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Pergi ke Jogja

[Artikel 33#, kategori Amir] Ia melepaskan semua tanggung jawab ketika telpon itu datang untuk bersiap. Entah sejak kapan dedikasinya diberikan begitu besar kepada beliau. Pekerjaannya ditinggal, apalagi tanggung jawabnya di rumah. 

Ketika saya sangat berharap ia membantu saya memegang sapu atau membersihkan sebagian rumah, meski akhir pekan, ia hanya tidur menghabiskan hari libur bila tidak bekerja.

Namun anehnya, ia sangat bersemangat pergi kala malam menjemput atau sok sibuk sendiri dengan melenggang bersama si merah.

Hari ini, Jumat (10/12), pemilik rumah datang. Seperti biasa ia langsung pergi ketika dihubungi.

Pelajarannya hari ini

Orang-orang terlihat baik, penuh tanggung jawab dan berdikasi sebenarnya bukan karena ia seperti itu wujud aslinya.

Seperti melihat 2 karakter. Entah kenapa orang seperti ini ada. Saya harap wujud aslinya tidak menjadi bumerang bagi dirinya.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya