Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Halo, Mei 2025

[Artikel 151#, kategori catatan] Hai, Mei. Maafkan saya baru menyapamu hari ini (4/5). Saya baik-baik saja dan sehat selalu. Kesulitan menyapamu lebih karena aktivitas di luar ruangan, yaitu bermain mini soccer. Apalagi dilakukan sehari 2 kali. Benar-benar deh semangatnya.

Awal bulan yang jatuh pada hari Kamis rupanya dimanfaatkan para bapak-bapak muda dengan bermain mini soccer. Maklum, tanggal 1 Mei merupakan tanggal merah yang diperingati Hari Buruh Nasional.

Saya sudah diajak beberapa hari sebelumnya untuk bermain pada tanggal tersebut. Pagi jam 6 dan malamnya jam 6 juga. Energi yang luar biasa di awal bulan.

Jual barang

Akhirnya saya merasakan juga pengalaman pertama menjual barang lewat Facebook Marketplace. Saya sukses menjual modem yang sudah tidak terpakai dengan cara bertransaksi offline di minimarket. Ya, saya mengaturnya usai transaksi di marketplace.

Lalu, saya juga menjual kamera digital yang tempatnya lagi-lagi di minimarket. Saya pikir menggunakan tempat seperti itu lebih nyaman ketimbang harus di tempat tinggal. Ada kekhawatiran kelak di masa depan jika harus bertransaksi di rumah pribadi.

Keuangan

Saya merasa dilema. Uang yang seharusnya untuk bayar bulanan Pinjol yang saya pinjamkan ke orang tua belum dikembalikan. Menagihnya seakan saya adalah anak durhaka, tapi saya membutuhkannya karena beliau sudah janji.

Saya lupa karakter orang tua yang pandai bersilat lidah. Saya tidak percaya ia melakukannya di umur sekarang. Entahlah saya bingung posisi saya sebagai anak. Apakah harus jumawa atau, ah sudahlah.

...

Meski kondisi tubuh saya sehat dan baik-baik saja, namun tidak dengan keuangan. Saya terus berusaha menghemat pengeluaran dan memangkas apa yang bisa dipangkas.

Keluarga yang diharapkan sepertinya semakin jauh dari jangkauan. Tidak berubah sama sekali. Berharap keajaiban datang mungkin satu-satunya harapan.

Termasuk, keluarga kedua. Sepertinya saya hidup hanya untuk membayar hutang kehidupan saja kepada mereka. Saya sudah pasrah dengan yang terjadi, terutama semenjak keuangan distop. 

Semoga saya bisa membayar jasa kebaikan mereka.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Mengenal Istilah Jam Kerja Hotel; Split atau Double Shift