Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Ada-ada Saja Cobaan Pas Sepeda Masuk Bengkel

[Artikel 32#, kategori sepeda] Hidup ini memang penuh kejutan, bro. Baru aja berusaha tegar jalani hari-hari sambil ngelus dompet yang tipis, eh, datang lagi cobaan. Sepeda kesayangan, penutup lubang mobilitas hidupku, tiba-tiba bikin ulah. Rantainya rusak, dan akhirnya harus masuk bengkel. Pasrah? Jelas. Tapi, dompetku juga ikut menjerit.

Awalnya, aku udah nyiapin dana darurat buat perbaikan. Tapi, karena takut kelewat batas anggaran, aku memutuskan cek dulu biayanya ke bengkel dekat rumah. Niatnya sih cuma tanya-tanya, tanpa bawa sepeda. Biar aman, gitu. Eh, ternyata rencana tinggal rencana.

Sampai di bengkel, aku ketemu bapak tua pemilik bengkel yang ramah, tapi entah kenapa bikin aku lupa niat awal. Belum sempat tanya biaya, dia udah nyuruh aku ambil sepeda ke rumah. “Bawa sini dulu, biar dicek,” katanya. Ditambah hasutan pelanggan lain, om-om seumuran yang ikut nimbrung, “Cepet bawa, biar langsung kelar!” Dengan polosnya, aku nurut. Langsung balik ke rumah, ambil sepeda, sambil berharap niat hematku masih suci.

Tapi, duarr! Kekhawatiran jadi kenyataan. Begitu sepeda sampai, si bapak bengkel langsung main bongkar. Gear belakang, yang jadi penutup masalah rantai, langsung dia sentuh. Aku cuma bisa melongo, pasrah lihat sepedaku “dioperasi” tanpa sempat tanya biaya. Dalam hati, aku cuma berdoa biayanya nggak bikin kantongku jebol. Apalagi, dompetku cuma berisi segepok harapan dan uang pas-pasan di tas slempang kesayangan.

Maklum, tanpa sepeda, hidupku susah. Mau main futsal, misalnya, harus nyaman pake sepeda. Pernah sekali coba jalan kaki ke lapangan. Kelihatannya sih oke, tapi ternyata bikin ribet kegiatan lain. Jadi, ya sudahlah, biar sepeda ini cepet beres aja.

Sambil nunggu bengkelan, aku ngobrol sama pelanggan lain, seorang veteran yang cerita masa mudanya seru banget. Dari cerita dia, aku jadi lupa sejenak sama dompet yang lagi krisis. Obrolan tentang masa lalu itu bikin suasana bengkel jadi lebih ringan.

Akhirnya, sepeda selesai diperbaiki. Gear belakang diganti, tapi katanya sih pake gear bekas dari sepeda lain yang nggak terpakai. “Kalau baru, lebih mahal,” ujar si bapak bengkel sambil nyengir. Biayanya? Alhamdulillah, cuma 30 ribu! Lebih hemat dari bayanganku. Meski begitu, tetep aja, bro, 30 ribu di masa krisis ini berasa berharga banget.

Dengan hati sedikit ngedumel, aku bayar biayanya sambil pamit pulang. Dalam hati, aku cuma bisa nggerutu, “Ada-ada aja cobaan gara-gara pengen hemat!” Tapi, ya sudahlah, sepeda udah kinclong lagi, siap nemenin aku ke lapangan futsal. Mungkin hidup emang begini, bro—selalu ada drama kecil biar kita belajar sabar.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat