Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s...

Ada-ada Saja Cobaan Pas Sepeda Masuk Bengkel

[Artikel 32#, kategori sepeda] Hidup ini memang penuh kejutan, bro. Baru aja berusaha tegar jalani hari-hari sambil ngelus dompet yang tipis, eh, datang lagi cobaan. Sepeda kesayangan, penutup lubang mobilitas hidupku, tiba-tiba bikin ulah. Rantainya rusak, dan akhirnya harus masuk bengkel. Pasrah? Jelas. Tapi, dompetku juga ikut menjerit.

Awalnya, aku udah nyiapin dana darurat buat perbaikan. Tapi, karena takut kelewat batas anggaran, aku memutuskan cek dulu biayanya ke bengkel dekat rumah. Niatnya sih cuma tanya-tanya, tanpa bawa sepeda. Biar aman, gitu. Eh, ternyata rencana tinggal rencana.

Sampai di bengkel, aku ketemu bapak tua pemilik bengkel yang ramah, tapi entah kenapa bikin aku lupa niat awal. Belum sempat tanya biaya, dia udah nyuruh aku ambil sepeda ke rumah. “Bawa sini dulu, biar dicek,” katanya. Ditambah hasutan pelanggan lain, om-om seumuran yang ikut nimbrung, “Cepet bawa, biar langsung kelar!” Dengan polosnya, aku nurut. Langsung balik ke rumah, ambil sepeda, sambil berharap niat hematku masih suci.

Tapi, duarr! Kekhawatiran jadi kenyataan. Begitu sepeda sampai, si bapak bengkel langsung main bongkar. Gear belakang, yang jadi penutup masalah rantai, langsung dia sentuh. Aku cuma bisa melongo, pasrah lihat sepedaku “dioperasi” tanpa sempat tanya biaya. Dalam hati, aku cuma berdoa biayanya nggak bikin kantongku jebol. Apalagi, dompetku cuma berisi segepok harapan dan uang pas-pasan di tas slempang kesayangan.

Maklum, tanpa sepeda, hidupku susah. Mau main futsal, misalnya, harus nyaman pake sepeda. Pernah sekali coba jalan kaki ke lapangan. Kelihatannya sih oke, tapi ternyata bikin ribet kegiatan lain. Jadi, ya sudahlah, biar sepeda ini cepet beres aja.

Sambil nunggu bengkelan, aku ngobrol sama pelanggan lain, seorang veteran yang cerita masa mudanya seru banget. Dari cerita dia, aku jadi lupa sejenak sama dompet yang lagi krisis. Obrolan tentang masa lalu itu bikin suasana bengkel jadi lebih ringan.

Akhirnya, sepeda selesai diperbaiki. Gear belakang diganti, tapi katanya sih pake gear bekas dari sepeda lain yang nggak terpakai. “Kalau baru, lebih mahal,” ujar si bapak bengkel sambil nyengir. Biayanya? Alhamdulillah, cuma 30 ribu! Lebih hemat dari bayanganku. Meski begitu, tetep aja, bro, 30 ribu di masa krisis ini berasa berharga banget.

Dengan hati sedikit ngedumel, aku bayar biayanya sambil pamit pulang. Dalam hati, aku cuma bisa nggerutu, “Ada-ada aja cobaan gara-gara pengen hemat!” Tapi, ya sudahlah, sepeda udah kinclong lagi, siap nemenin aku ke lapangan futsal. Mungkin hidup emang begini, bro—selalu ada drama kecil biar kita belajar sabar.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Istilah Jam Kerja Hotel; Split atau Double Shift

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh

Berkenalan dengan Istilah Cinephile