Pria Tidak Berdaya
[Artikel 11#, kategori mini soccer] Sudah hampir dua tahun saya menyelami dunia mini soccer, tapi baru di Agustus kemarin saya akhirnya merasakan lagi sensasi bermain bola di tengah guyuran hujan. Rasa campur aduk antara bahagia dan sedikit cemas langsung menghampiri.
Bahagia, karena ini seperti menyelami kenangan masa kecil. Cemas, karena hujannya deras betul dan kami bermain di malam hari.
Momen ini seperti mencoret satu lagi mimpi kecil dari daftar keinginan sederhana saya. Sebelumnya, saya pernah berbagi pengalaman seru bermain dengan pesepakbola perempuan.
Kini, hujan-hujanan sambil ngejar bola di lapangan mini soccer bersama Guambo FC jadi kenangan baru yang tak kalah membahagiakan. Apalagi, di usia yang sebentar lagi menginjak kepala empat, hal-hal sederhana seperti ini terasa begitu berharga.
Derasnya Hujan, Derasnya Kenangan
Dulu, saat masih sekolah, main bola sambil hujan-hujanan adalah hal biasa. Pagi atau sore, kami tetap gaspol meski basah kuyup. Tapi kalau malam? Rasanya mustahil, kecuali di stadion dengan lampu penerangan mumpuni.
Nah, di Agustus kemarin, saya akhirnya merasakan sendiri bagaimana bermain di tengah hujan malam hari. Dingin menggigit, gerakan terasa lebih berat, pandangan kabur karena air hujan yang mengalir ke mata—semua terasa begitu nyata dan membekas.
Petir Menggelegar, Listrik Padam
Semangat kami di lapangan tak kalah deras dari hujan itu sendiri. Mungkin semua pemain punya pikiran yang sama: kapan lagi bisa merasakan sensasi seperti ini? Tapi, keseruan itu sempat terhenti.
Tiba-tiba lampu penerangan di lapangan Barito Semarang padam, bersamaan dengan lampu-lampu di jalanan sekitar. Gelap total! Apakah ini efek hujan yang terlalu ganas?
Ditambah suara petir yang menggelegar, bikin jantungan. Setiap kilatan petir menyambar, saya refleks menutup telinga sambil komat-kamit berdoa dalam hati.
Genset Penyelamat, Semangat Kembali Membara
Di tengah kegelapan, kami terpaksa berhenti sejenak. Pikiran saya langsung bertanya-tanya, “Apa lapangan ini punya genset? Menyalakan lampu sebesar ini pasti butuh tenaga besar.”
Dan, tara! Tak lama kemudian, penanggung jawab lapangan seolah menjawab keraguan saya. Genset dinyalakan, dan lampu penerangan kembali menyala terang. Sorak sorai kecil dari teman-teman di lapangan menyambut momen itu.
Hujan masih setia mengguyur, tapi kami tak gentar. Meski badan mulai kaku karena dingin, kami kembali masuk ke lapangan untuk menghabiskan sisa waktu sewa.
Wajah-wajah lelah memang tak bisa disembunyikan, tapi sorot mata penuh bahagia dari teman-teman Guambo FC jelas terlihat. Ini bukan cuma soal main bola, tapi tentang menikmati momen langka yang sulit terulang.
Nostalgia yang Sulit Dilupain
Bermain bola di tengah hujan seperti membuka album kenangan masa kecil. Sederhana, tapi begitu berarti. Dalam lima tahun terakhir, saya lebih sering bermain futsal di dalam ruangan, yang jelas berbeda dengan mini soccer di lapangan terbuka.
Hujan-hujanan seperti ini jadi pengalaman yang sulit didapatkan lagi. Makanya, momen di Agustus kemarin terasa begitu spesial. Saya benar-benar bersyukur bisa merasakan kembali sensasi basah kuyup, ngejar bola, dan tertawa bersama teman-teman di tengah guyuran hujan.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar