Pria Tidak Berdaya
[Artikel 3#, kategori tak berdaya] Menjelang akhir tahun, perjalanan singkat menuju lapangan mini soccer mendadak berubah menjadi ruang kontemplasi. Di tengah hiruk-pikuk persiapan orang-orang menyambut pergantian tahun, saya justru merasa sedang berjalan di lorong yang sunyi. Tanpa pasangan, tanpa lingkaran sahabat, bahkan terasa jauh dari keluarga kandung.
Tahun 2026 sudah di depan mata. Bagi saya, ini bukan sekadar pergantian angka, melainkan gerbang menuju usia 40 tahun. Sebuah angka yang membawa perasaan campur aduk: antara pencapaian yang patut dibanggakan atau justru lubang kekhawatiran yang kian menganga.
Saya sering merenung, andai saja dulu saya tidak terlalu ambisius menjadikan hobi sebagai sandaran hidup, mungkinkah ceritanya akan berbeda? Gejolak masa muda seringkali menipu; kita merasa hebat dengan nafsu besar dan dukungan yang seolah tak pernah habis dari orang-orang sekitar.
Namun, kenyataannya ambisi tersebut menuntut tumbal yang mahal. Saya memilih berhenti kuliah, membiarkan komunikasi dengan keluarga berjalan hambar, dan membiarkan hubungan asmara datang lalu pergi begitu saja. Semua demi sebuah mimpi yang saya genggam erat.
Andai saja kisah ambisi itu berakhir sukses besar, mungkin hari ini saya sedang duduk bersenda gurau dengan anak dan istri. Mungkin saya sedang mengunjungi rekan-rekan lama yang dulu jatuh bangun membangun dotsemarang bersama saya. Tapi realitanya, kesuksesan yang dibayangkan itu tidak kunjung datang sesuai rencana.
Di usia sekarang, kesendirian telah menjadi kawan akrab. Bahkan saat berada di rumah pun, saya lebih sering "menguburkan diri" di sudut kamar, hanya ditemani suara ketikan keyboard yang merangkai setiap keresahan menjadi barisan kata.
Bayang-bayang masa lalu seringkali hadir seperti hantu yang menagih janji. Saya merasa apa yang saya jalani sekarang adalah bentuk penebusan. Dulu, saya dikelilingi orang-orang hebat yang rela berkorban, namun kini satu per satu mereka telah menghilang dari jangkauan.
Meski rumah masih terasa hangat karena keberadaan keluarga dan si bungsu, saya memilih untuk tetap di balik pintu. Ada kekhawatiran jika saya terlalu banyak berinteraksi, justru akan memicu konflik baru. Diam di kamar akhirnya menjadi pilihan paling aman untuk menikmati kesendirian ini.
Apakah saya bahagia? Saya mencoba untuk terus mencintai keadaan ini. Bertahan hidup dari hari ke hari dengan mencoba berdamai pada kesunyian yang sudah terbiasa saya dekap.
Namun, jika waktu bisa diputar kembali, saya mungkin akan mengambil jalan yang berbeda. Saya akan memilih menyepi di masa muda untuk meniti karier hingga ke puncak tertinggi. Biarlah uang dan kemapanan yang nantinya menjadi magnet perhatian. Dengan begitu, di masa tua nanti, saya tinggal duduk manis, tertawa lepas menikmati hasil kerja keras bersama orang-orang tersayang.
Kini, yang tersisa hanyalah pelajaran. Bahwa ambisi tanpa perhitungan seringkali berujung pada kesunyian di penghujung jalan.
📷 instagram darwantomotto
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar