Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

✨ Kejutan Sore Hari: Silaturahmi, Bengkel Langganan, dan Rezeki yang Tak Terduga

[Artikel 40#, kategori Amir] Rabu sore (10/12), suasana tenang mendadak pecah oleh dering telepon. Sebuah nama yang sudah sangat akrab muncul di layar. Tanpa banyak basa-basi, ia mengabarkan sudah berada tepat di depan pintu rumah. Saya sempat terperanjat, namun saat pintu dibuka, pemandangan pertama yang menyambut adalah tentengan buah-buahan sebagai buah tangan.

Beliau, yang kini berkarier di wilayah Kabupaten Semarang, sengaja mampir setelah menyelesaikan urusan servis sepeda motor. Padahal, jika dipikir secara logika, di sekitar tempat kerjanya tentu bertebaran bengkel serupa.

Namun, pilihannya untuk tetap turun ke Semarang bawah membuktikan satu hal: kepercayaan. Rasa sreg pada bengkel langganan mengalahkan jarak tempuh yang jauh. Sebuah loyalitas yang mungkin sulit dipahami orang awam, tapi sangat masuk akal bagi seorang pemilik kendaraan.

Seni Menyambung Silaturahmi

Saya selalu mengagumi kecerdasan sosial beliau. Datang bertamu dengan membawa oleh-oleh bukan sekadar formalitas, melainkan cara paling elegan untuk merawat silaturahmi. Sore itu, meja makan jadi lebih berwarna dengan kehadiran kelengkeng dan jeruk.

Jujur saja, sudah cukup lama saya tidak mencicipi kesegaran buah-buahan seperti itu. Sebagai orang yang belakangan ini hidup dengan prinsip "apa adanya" demi bertahan di tengah ketidakpastian, pemberian ini terasa seperti sebuah kemewahan. Saya pun langsung mencicipinya; sebuah kenikmatan sederhana yang sangat saya syukuri.

Tak berhenti di situ, kejutan berlanjut. Setelah saya sempat beristirahat sejenak di kamar, beliau kembali mengejutkan saya dengan satu kotak nasi lengkap dengan es teh porsi jumbo. Rasanya seperti mendapat durian runtuh. Semangat hidup saya seketika terisi penuh kembali oleh kebaikan-kebaikan kecil yang datang bertubi-tubi ini.

Refleksi Tentang Uang dan Pilihan Hidup

Melihat kemurahan hatinya, saya termenung. Apakah saya bisa bersikap seperti beliau jika berada di posisi yang sama?

Bagi saya, uang memang bukan tujuan utama dalam hidup. Namun, saya tidak menampik bahwa dengan kemapanan finansial, kita memiliki keleluasaan untuk menjadi orang baik dan membahagiakan orang lain—seperti yang beliau lakukan hari ini.

Terkadang, ada sedikit rasa iri saat melihat jalannya yang tampak stabil. Beliau telah berpindah dari satu kota ke kota lain dengan karier yang terus menanjak, bahkan kini sudah mampu menafkahi seorang istri. Dengan tanggung jawab sebesar itu, logikanya pendapatan beliau tentu sudah melampaui angka UMR.

Sempat terlintas pikiran: andai waktu bisa diputar kembali. Mungkin jika dulu saya lebih patuh pada keinginan orang tua, posisi saya hari ini akan jauh lebih baik secara materi.

Menikmati Anugerah Hari Ini

Namun, memelihara penyesalan hanya akan membuang energi. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa masa lalu adalah sejarah, hari esok adalah misteri, dan hari ini adalah anugerah?

Alih-alih meratapi pilihan hidup yang berbeda, saya memilih untuk merayakan apa yang ada di depan mata. Sore ini, anugerah itu hadir dalam bentuk traktiran dan kunjungan seorang kawan lama. Saya akan menikmati setiap suapan nasi dan kesegaran es teh ini dengan rasa syukur yang mendalam.

Terima kasih atas kunjungannya, kawan. Semoga rezeki itu selalu berputar.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Perjalanan Pulang Pergi ke Hotel The Wujil Resort & Conventions

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh