Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Masih Bersepeda (Part 2)


[Artikel 2#, kategori Pria Biasa] Beberapa orang memuji saya yang ke mana-mana bersepeda, itu menyenangkan. Padahal, itu hanya sebuah kebiasaan. Dan kebiasaan itu membuat saya jadi malas merawat sepeda. Mau gimana lagi, sudah 4 tahun saya bersepeda.

Saya pikir saya sudah menyembunyikan rapat-rapat pertambahan usia saya bulan ini. Ternyata masih aja ada yang dapat informasinya. Saya lupa bahwa ada akun yang lupa saya hapus dan menyimpan tanggal yang paling saya hindari setiap tahun.

Sudah tidak terawat

Saya senang melihat atmosfir Kota Semarang yang semakin hari semakin ramai saja orang-orang bersepeda. Bedanya dengan mereka, sepeda saya kalau dijual sekarang mungkin di bawah 400 ribu.

Bandingkan dengan mereka yang semakin minimalis, dengan sebutan sama sebagai sepeda lipat, harganya dapat mencapai puluhan juta.

Sudah ketebak dong, sepeda dapat memperlihatkan status seseorang. Ah, sudahlah. Kembali soal sepeda saya yang semakin tidak terawat, alias malas dibersihkan.

Saya memang sengaja melakukannya. Bukan karena salah satu alasannya malas. Cuma secemerlang apapun, saat bertemu dengan pesepeda lain, saya jadi minder. Apalagi bila tahu mereknya dari luar. 

Masih bersepeda

Satu-satunya kendaraan yang saya terus gunakan adalah sepeda yang saya beli tahun 2015. Bila tidak sedang bersepeda, terutama acara di Semarang atas atau butuh waktu cepat, saya gunakan transportasi umum atau online.

Tapi pioritas tetap bersepeda bila hanya dalam kota. Mau ke mal, hotel, tempat makan, gedung pemerintahan, tempat wisata hingga datang ke sebuah acara, saya menggunakan sepeda.

Bersepeda memang membuat sehat. Hal yang paling saya banggakan adalah perut saya tidak buncit karena bersepeda.

Dalam urusan asmara, saya tidak tahu harus gimana. Soalnya boncengan di belakang sudah tidak saya pasang. Lagian tidak akan ada perempuan yang mau berkencan naik sepeda.

Meski harapan itu selalu ada. Membayangkan film-film yang menaruh adegan dua orang bersepeda saling berpasangan, rasanya sangat menyenangkan.

Mendadak keingat mantan yang anti diajak Car Free Day yang harapannya bisa naik sepeda bersama. Mari tinggalkan ingatan ini.

...

Pria 33 tahun masih berkendara dengan sepeda, dari aktivitas, bersenang-senang, bekerja hingga sekedar menikmati udara pagi, bagaimana pendapatmu?

Apakah ini terlihat bahwa saya merupakan pria dengan garis kemiskinan atau menunjukkan bahwa sehat itu murah? 

Semoga punya sepeda lebih bagus lagi suatu hari nanti

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya