Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Memanjakan Kata Hati


Ketika perasaan mampu menggerakkan pikiran lalu diikuti tubuh, maka itulah yang sedang saya bicarakan di halaman ini. Sebenarnya bisa saja menolak dengan dalih berbagai macam alasan. Namun ketika itu, lebih baik mendengarkan kata hati. Seperti memanjakan anak kecil yang suka minta sesuatu meski enggan membelinya.

Inspirasi tulisan ini datang di pagi buta, waktu Indonesia saat saya bekerja. Paragraf di atas malah didapat saat sedang di toilet, lagi pup. 

Memanjakan Kata Hati

Cucian di dapur hari ini lumayan banyak. Saya pikir untuk membiarkan saja hingga pagi hari. Yang terjadi, perasaan saya tidak mengizinkan saya untuk membiarkan. Tiga piring, 2 gelas dan 6 sendok, plus tempat memasak nasi alat rice cooker.

Tidak begitu lama, cucian udah selesai. Apakah saya akan lapar, mengingat waktu sudah mau pukul 3 pagi? Kata hati saya kembali mengambil alih pikiran dan tubuh saya. Akhirnya saya menanak nasi di rice cooker. Untungnya, sisa beras masih cukup untuk dimasak.

Dari aktivitas ini, saya kok berpikir bahwa saya sangat memanjakan kata hati saya. Seperti tidak bisa menolak. Mengalahkan prinsip sekuat apapun. Saya tidak tahu sejak kapan kata hati adalah suara paling benar. Yang menyebabkan sepertinya karena saya suka menulis blog. Mungkin saja itu jadinya wajar. 

Menulis membuat saya berbicara pada diri sendiri di dalam hati. Mengganti kata demi kata agar tercipta sebuah kalimat yang saya bentuk. Ada sisi baiknya memang ketika mampu mendengarkan kata hati seperti yang terjadi pada saya barusan.

Tidak jadi malas, tempat cucian dapur bersih (tidak menumpuk piring kotor), perasaan jadi lega, tidak menunda-nunda dan lainnya.

Bagaimana denganmu, apakah sering memanjakan kata hati juga? Atau sebaliknya?

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya