Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Era Post Truth Society


[Artikel 22#, kategori Internet] Saya baru menyadari istilah post truth saat acara flash blogging yang diselenggarakan Kominfo, minggu kemarin. Salah satu nara sumbernya, Ndorokakung, bicara tentang fenomena yang saat ini menghinggapi masyarakat, baik dunia maupun bangsa kita. Apakah post truth ini?

Gambarannya sederhana sebenarnya. Ya, aktivitas kita yang saat ini kebanyakan dihabiskan di media sosial. Sebagian masyarakat mulai meributkan hal - hal yang sebenarnya, jika dulu menurut Ndorokakung itu biasa, maka yang terjadi sekarang seperti sebuah headline berita yang sangat geger. 

Post Truth Society menurut Najib yang saya kutip dari kanan detikcom (4/8) adalah masyarakat yang tidak mementingkan fakta dalam proses komunikasi sosial. Prefensinya pada kesukaan, bukan kepada kebenaran.

Maka tidak heran saat ini berita hoax menjadi santapan yang sulit dihindari. Mereka mencari yang memuaskan emosi, fakta urusan belakangan.

"Problem sekarang bukan kelangkaan informasi, tapi informasi berlebih. Tsunami informasi sehingga ada problem menyaring informasi yang akurat. Sehingga justru sebagian besar tidak akurat. Dia serap info tidak akurat," Muhammad Najib Azca, Sosiolog Fisipol UGM.

Masalah lainnya adalah tergerusnya kepercayaan kepada institusi negara dan media massa yang selama ini menyediakan informasi. Ada otoritas baru yang memberikan informasi, namun informasinya tidak benar. Akibatnya timbul perselisihan saat berkomunikasi, karena ada sebagian orang berpegangan bukan kepada fakta.

...

Jadi pada intinya, era saat ini ditengah era teknologi dan media sosial yang begitu luar biasa, ada era yang masuk tanpa kita sadari. Kepercayaan tidak lagi didasarkan sesuatu yang berhubungan dengan fakta. Kita menyukai berbagi apapun yang seharusnya dapat memilih dan memilah.

Asal retweet, asal love dan semua didasarkan atas kesukaan tanpa berpikir siapa pengikutnya, dan apa dampaknya. Saya berharap, ini tidak terjadi kepada saya meski saya akui ini tidak mudah.

Mari berusaha mencerna informasi dengan bijak dan baik. Daripada memusingkan apa yang kita bagi, lebih baik kita bicara tentang prestasi dan personal branding yang punya nilai jual dan yang positif.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya