Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Era Post Truth Society


[Artikel 22#, kategori Internet] Saya baru menyadari istilah post truth saat acara flash blogging yang diselenggarakan Kominfo, minggu kemarin. Salah satu nara sumbernya, Ndorokakung, bicara tentang fenomena yang saat ini menghinggapi masyarakat, baik dunia maupun bangsa kita. Apakah post truth ini?

Gambarannya sederhana sebenarnya. Ya, aktivitas kita yang saat ini kebanyakan dihabiskan di media sosial. Sebagian masyarakat mulai meributkan hal - hal yang sebenarnya, jika dulu menurut Ndorokakung itu biasa, maka yang terjadi sekarang seperti sebuah headline berita yang sangat geger. 

Post Truth Society menurut Najib yang saya kutip dari kanan detikcom (4/8) adalah masyarakat yang tidak mementingkan fakta dalam proses komunikasi sosial. Prefensinya pada kesukaan, bukan kepada kebenaran.

Maka tidak heran saat ini berita hoax menjadi santapan yang sulit dihindari. Mereka mencari yang memuaskan emosi, fakta urusan belakangan.

"Problem sekarang bukan kelangkaan informasi, tapi informasi berlebih. Tsunami informasi sehingga ada problem menyaring informasi yang akurat. Sehingga justru sebagian besar tidak akurat. Dia serap info tidak akurat," Muhammad Najib Azca, Sosiolog Fisipol UGM.

Masalah lainnya adalah tergerusnya kepercayaan kepada institusi negara dan media massa yang selama ini menyediakan informasi. Ada otoritas baru yang memberikan informasi, namun informasinya tidak benar. Akibatnya timbul perselisihan saat berkomunikasi, karena ada sebagian orang berpegangan bukan kepada fakta.

...

Jadi pada intinya, era saat ini ditengah era teknologi dan media sosial yang begitu luar biasa, ada era yang masuk tanpa kita sadari. Kepercayaan tidak lagi didasarkan sesuatu yang berhubungan dengan fakta. Kita menyukai berbagi apapun yang seharusnya dapat memilih dan memilah.

Asal retweet, asal love dan semua didasarkan atas kesukaan tanpa berpikir siapa pengikutnya, dan apa dampaknya. Saya berharap, ini tidak terjadi kepada saya meski saya akui ini tidak mudah.

Mari berusaha mencerna informasi dengan bijak dan baik. Daripada memusingkan apa yang kita bagi, lebih baik kita bicara tentang prestasi dan personal branding yang punya nilai jual dan yang positif.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh