[Artikel 21#, kategori cinta] Pelan-pelan menjulur seperti parasit merasuk pikiran. Melemahkan badan meski sudah ditangkis dengan hiburan. Ah sial, pikirku. Kirain tidak berpengaruh, nyatanya produktivitas posting blog sangat rendah semenjak itu.
Tidak ada angin atau hujan, meski tercium bau-bau mendung. Pagi yang tidak tenang karena kekalahan tim kesayangan, mendadak satu kalimat yang mencekik.
Tanpa perlawanan, tanpa memberi alasan dan pasrah sejadi-jadinya karena persoalan sebelumnya yang dibuat memang berlebihan. Tapi tak pernah terpikirkan jika pagi buta akan lebih cepat terang seperti biasanya.
Apakah ini bakal menjadi sebuah trauma?
Mau marah rasanya, tapi kejadian ini bukan yang pertama. Seperti dejavu, selalu terulang dan rasanya takdir sudah ditulis bahwa saya tidak cocok dengannya.
Perasaan galau masih dapat dihalau dengan hiburan yang penuh adrenalin. Saya bisa, saya bisa. Pikir saya menahan diri dari keguncangan perasaan.
Saya sempat berpikir bahwa ini akan jadi sebuah trauma mendalam. Saya takut, saya berhenti berharap dan bahkan untuk melihat wanita saja di sebuah minimarket, saya seperti ketakutan.
Saya tidak ingin menjalin hubungan atau membangun sebuah ikatan dulu. Begitu berat pikiran ini, tapi kembali ringan ketika tontonan kembali dihidupkan.
Perasaan saya bisa dialihkan sementara, tapi tidak dengan pekerjaan dan aktivitas. Benar-benar sebuah gangguan ketika hubungan berakhir.
Percuma membangun hubungan yang dalam di mata wanita
Dalam waktu kegalauan yang saya lewati, saya berbicara dengan kata hati kecil sendiri. Mengapa hubungan yang sudah dibangun sangat dalam, hanya sebuah kesalahan kecil yang menusuk perasaan, wanita berani memutuskan.
Kata cinta, kasih sayang, dan waktu yang dihabiskan bersama seakan tidak berarti. Wanita benar-benar menakutkan. Maka tak heran, pikiran saya bertahan pada sosok wanita yang dapat bertahan dari pria yang menjadi suaminya, tapi berbuat buruk padanya.
Kata hati saya melawan, dan memberikan perbandingan dengan pasangan yang berhubungan lebih lama dari saya. Bahkan, pasangan yang sudah menikah, memiliki anak dan mereka tetap berpisah.
Saya memikirkan perasaan tersebut. Seperti sebuah tamparan semangat ala film Jepang ketika dirinya terjatuh dan harus segera bangkit. Plak! Dua telapak tangan saya memukul pipi saya (membayangkan bermain futsal saat saya mulai lemas).
...
Dunia belum berakhir, meski dunia kami berdua sudah berakhir. Tidak ada lagi kebahagiaan yang biasanya terjalin dari sebuah perpesanan maupun pertemuan. Apakah putus ini sangat buruk buat saya?
Sangat sebenarnya. Tapi saya memikirkan hal lebih besar dari saya bahwa saya cuma butiran debu yang masih tidak ada apa-apanya dengan mereka yang berpisah setelah menjalani pernikahan.
Percayalah, meski dunia kita berakhir, tetaplah bertahan. Lakukan sesuatu yang mengalihkan, meski cuma sementara. Pergilah dari aktivitas meski harus menjadi manusia malas
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar