Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Trauma Ikutan Arung Jeram


Saya kekeh menolak ajakan dalam satu rangkaian acara yang saya ikuti bulan November 2018. Padahal itu seru dan mengasyikkan. Tapi saya benar-benar trauma. Tidak pokoknya. Maafkan saya yang tidak asyik orangnya.

Alasan terbesar saya adalah tidak bisa berenang. Dan lucunya, saya pernah ikutan sekali saat program Visit Jawa Tengah 2013, dimana saya diyakinkan bahwa tidak masalah waktu itu.

Oke, saya ikutan dan seru waktu itu dapat menjadi bagian program tersebut. Saya yang baru pertama kali mengikuti, minim pengalaman, mendadak di akhir lintasan arung jeram atau rafting, perahu yang dinaiki mendadak dibalik.

Saya lupa atau tidak ingat, bahwa ada hal seperti itu yang dilakukan. Saya panik. Mencari pijakan dan semenjak itu, saya berharap tidak akan mengikuti olahraga air ini.

Naik banana boat

Kejadian kembali terulang dan lagi-lagi saya diyakini bahwa naik seperti banana boat aman. Mungkin saya saja yang bodoh. Dan kesenangan di atas banan berubah drastis.

Bila rafting, perahu dibalik, maka banana diakhir malah dihempaskan (karena ditarik). Sontak saja semua berjatuhan. Dan lagi-lagi saya pemula dan mendadak panik di dalam air hanya untuk mencari pijakan.

Meski pelampung terikat sangat keras pada tubuh, namanya panik tidak bisa berpikir jernih. Maunya cari pijakan, yang tentu saja tidak dapat diraih.

Jadinya trauma

Dan saya merasakan trauma itu sekarang setiap diajak ikutan. Apapun alasannya, sampai kesel mendengarkan bullyan orang-orang yang membully peserta lain, saya ingin sekali nonjok tuh orang. Tapi itu cuma harapan, aslinya ya gak mau. Teman sendiri.

...

Mungkin lain ceritanya jika saya dapat informasi di awal dan mendapatkan tips agar tidak panik saat sedang naik perahu. 

Akhirnya, saya bergabung dengan beberapa orang yang tidak ikut arung jeram. Sambil menunggu mereka selesai. Meski sangat lama, saya setidaknya merasa nyaman tanpa ikutan.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh