Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Pulang Malam


[Artikel 21#, kategori Amir] Mendapatkan pekerjaan itu menyenangkan, apalagi gajinya sesuai harapan. Berpikir menjadi seorang pekerja, hanya perlu mencintai apa yang dilakukan dan berusaha mengikuti arus yang ada. 

Melihat seseorang begitu semangat bekerja, tentu juga tertular rasa bahagia. Namun tak disangka, pekerjaan yang berhasil didapatkan membuat prihatin.

Pulang malam sudah menjadi gambaran satu bulan setelah diterima dan mungkin, masa depan akan terbentuk dari sini. Andai hidup sendiri, mungkin tak perlu khawatir bahwa tidak ada orang yang berada disekitar.

Hanya saja, situasinya berbeda ketika seseorang tersebut tinggal satu atap dengan orang lain. Harapan menjadi lebih baik malah berubah jadi prasangka.

Sibuk dengan dunianya

Saya sudah cukup tahu diri untuk membiarkan keadaan dari tuan rumah yang tak perlu memikirkan bagaimana kehidupan di rumah.

Namun akhir-akhir ini, saya harus juga memaklumi seseorang yang baru menikmati dunianya ikut dalam lingkaran diri sendiri.

Bangun pagi, pulang malam dan begitu setiap hari. Bahkan akhir pekan yang menjadi satu-satunya rasa peduli terhadap rumah, diambil menjadi hari libur untuk menyenangkan diri sendiri.

Saya terjebak. Saya tidak dapat berkata apa-apa. Yang saya tahu, saat ini saya memegang sapu lebih banyak dari hari biasanya.

Mungkin ini adalah cara olahraga baru agar tubuh sehat. Tapi, bagaimana dengan tanggung jawab. Di sini bukan kos, seenaknya pulang pergi tanpa berbuat apa-apa. 

Pulang malam

Tubuh lelahnya sudah terbaring saat saya bangun dini hari. Entah jam berapa dia pulang. Apakah dia sudah mandi? Entahlah, hidung saya tidak sensitif terhadap bau.

Saya tidak mengerti, mengapa pekerja baru malah pulang malam hampir setiap hari? Risiko pekerjaan karena digaji? Atau tidak enakan karna ajakan?

Bila tahu keadaannya begini, saya sangat bersyukur bahwa saya tidak memiliki gaji tiap bulan. Meski terlihat menderita karena uang selalu pas-pasan, saya bahagia dengan banyak waktu.

...

Begitulah menjadi orang lain yang ada disekitar kita. Saat kita sibuk dengan dunia sendiri, mereka tidak diam sebenarnya. Suara hati mereka menari-nari dipikiran.

Pulang malam, saya harap tidak lupa dengan tanggung jawab sebagai manusia.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh