Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Pulang Malam


[Artikel 21#, kategori Amir] Mendapatkan pekerjaan itu menyenangkan, apalagi gajinya sesuai harapan. Berpikir menjadi seorang pekerja, hanya perlu mencintai apa yang dilakukan dan berusaha mengikuti arus yang ada. 

Melihat seseorang begitu semangat bekerja, tentu juga tertular rasa bahagia. Namun tak disangka, pekerjaan yang berhasil didapatkan membuat prihatin.

Pulang malam sudah menjadi gambaran satu bulan setelah diterima dan mungkin, masa depan akan terbentuk dari sini. Andai hidup sendiri, mungkin tak perlu khawatir bahwa tidak ada orang yang berada disekitar.

Hanya saja, situasinya berbeda ketika seseorang tersebut tinggal satu atap dengan orang lain. Harapan menjadi lebih baik malah berubah jadi prasangka.

Sibuk dengan dunianya

Saya sudah cukup tahu diri untuk membiarkan keadaan dari tuan rumah yang tak perlu memikirkan bagaimana kehidupan di rumah.

Namun akhir-akhir ini, saya harus juga memaklumi seseorang yang baru menikmati dunianya ikut dalam lingkaran diri sendiri.

Bangun pagi, pulang malam dan begitu setiap hari. Bahkan akhir pekan yang menjadi satu-satunya rasa peduli terhadap rumah, diambil menjadi hari libur untuk menyenangkan diri sendiri.

Saya terjebak. Saya tidak dapat berkata apa-apa. Yang saya tahu, saat ini saya memegang sapu lebih banyak dari hari biasanya.

Mungkin ini adalah cara olahraga baru agar tubuh sehat. Tapi, bagaimana dengan tanggung jawab. Di sini bukan kos, seenaknya pulang pergi tanpa berbuat apa-apa. 

Pulang malam

Tubuh lelahnya sudah terbaring saat saya bangun dini hari. Entah jam berapa dia pulang. Apakah dia sudah mandi? Entahlah, hidung saya tidak sensitif terhadap bau.

Saya tidak mengerti, mengapa pekerja baru malah pulang malam hampir setiap hari? Risiko pekerjaan karena digaji? Atau tidak enakan karna ajakan?

Bila tahu keadaannya begini, saya sangat bersyukur bahwa saya tidak memiliki gaji tiap bulan. Meski terlihat menderita karena uang selalu pas-pasan, saya bahagia dengan banyak waktu.

...

Begitulah menjadi orang lain yang ada disekitar kita. Saat kita sibuk dengan dunia sendiri, mereka tidak diam sebenarnya. Suara hati mereka menari-nari dipikiran.

Pulang malam, saya harap tidak lupa dengan tanggung jawab sebagai manusia.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Mengenal Istilah Jam Kerja Hotel; Split atau Double Shift