Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Rendang: Rezeki Bulan Ini

[Artikel 34#, kategori rumah] Rezeki memang nggak melulu soal uang, bisa saja makanan. Saya bersyukur minggu ini ketika pemilik rumah datang dan juga membawa makanan yang sudah dibungkus dengan rapi dari Kota Samarinda. Setelah beberapa waktu menghabiskan makanan hanya dengan mie dan telur atau beli di warteg, kali ini ada suasana yang berbeda.

Minggu kedua bulan November, yang datang kali ini adalah si sulung. Entahlah kenapa ia meninggalkan istrinya yang tengah mengandung ke sini karena katanya akan mengikuti kompetisi biliar di Kota Semarang.

Sebagai salah satu orang yang mengerti hiruk pikuk Ibu Kota Jawa Tengah, saya pikir ia juga merindukan teman-teman dan dunianya saat masih berstatus single. Pria, terkadang seperti wanita yang ingin melakukan semuanya sendiri atau me time.

Rendang

Biarlah si pemilik rumah dengan kehidupannya yang katanya akan seminggu lebih di sini. Yang harus saya awasi adalah makanan yang dibawanya. 

Rendang buatan si Ibu pemilik rumah memang selalu terbaik. Apalagi sudah lama tidak makan makanan mewah seperti ini. 

Jujur, meski lebih enak dihangatin dengan kompor, saya lebih menyukai makanan dingin. Rendang yang dibungkus plastik hanya perlu dipindahkan ke dalam mangkuk.

Kebiasaan saya, makanan tersebut langsung ditaruh di dalam kulkas dan dibiarkan di sana. Namun karena yang hidup di rumah bukan hanya saya saja, terkadang makanan ada yang memanaskannya lagi.

Biarlah, yang pasti saya seminggu ini bakal makan enak pokoknya. Meski itu hanya rendang plus nasi, tiap gigitan dagingnya yang bercampur bumbu, itu adalah kelezatan hakiki.

Haha..saya norak memang. Mau gimana lagi, sekian waktu tanpa makanan mewah, seperti pria desa yang baru nyampe kota.

...

Terima kasih rezekinya, Tuhan. Terkadang saya menginginkan uang bila boleh ditukar, tapi adanya rendang, saya juga tak bisa menolaknya sebagai bagian rezeki yang datang.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat