Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Pengen Pensiun Jadi Kiper

[Artikel 90#, kategori futsal] Selasa terakhir di bulan Januari ini ada cerita yang kurang baik saat bermain futsal. Cedera pergelangan tangan dari minggu lalu ternyata kembali kambuh saat main hari ini (25/1). Rasanya ingin pensiun saja, dan mengubah posisi bermain.

Sempat bermain hingga 2 kali putaran dan baik-baik saja, kepercayaan diri saya kembali. Meski harap-harap cemas juga bila keadaan yang tidak diprediksi membuat cedera lama kambuh.

Karena kebanyakan khawatir untuk tidak membuat tangan lebih banyak bergerak, saya harus menerima resiko bahwa gawang kebobolan lebih banyak. Intinya pergerakan tubuh saya terbatas.

Pensiun?

Petaka itu akhirnya datang kembali. Sebuah sepakan yang menerobos deras dari sisi kiri menuju gawang tidak dapat diantipasi kedua tangan.

Sialnya, selain bola tetap masuk ke dalam gawang, tangan yang masih cedera ternyata kena lagi. Dan saya langsung memutuskan minta diganti karena rasa sakitnya luar biasa.

Setelah keluar lapangan, tubuh saya rebahkan sambil memijat pergelangan tangan yang sebelah kanan. Teman sebelah pun tak ragu memberikan semprotan penyembuh. Yah, lumayan sudah.

Pikiran pensiun tanpa sadar terucap saat kami mengobrol. Entah kenapa semenjak jadi kiper, tubuh sering banyak cedera.

Ia saya tahu posisi kiper bukanlah posisi utama saya. Itu hanya dadakan setiap bermain yang jarang ada pemain berprofesi kiper.

Melihat kambuh yang sering dan rentang cedera, rasanya pilihan untuk pensiun sangat realistis. Saya tidak ingin terjadi apa-apa pada tubuh saya, apalagi tangan yang menjadi bagian penting untuk pekerjaan dalam hal menulis.

Semoga saja, saya tidak nekat lagi bila bermain. Mentang-mentang bisa sembuh kelak, saya malah kembali mengambil posisi kiper.

Arghh... saya bangga dengan posisi pemain tengah selama karir saya sebagai pemain sepak bola. Entah kenapa 4 tahun terakhir malah jadi kiper?? 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat