Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Bapak si Tukang Parkir

[Artikel 30#, kategori keluarga] Dibesarkan penuh dengan kasih sayang, namun malah tersesat menjelang umur 40'an. Hei, itu saya. Masa depan yang digadang-gadang seperti kebanyakan orang-orang ternyata tidak sesuai ekspetasi. Bahkan, penghasilan saya kalah telak dengan Bapak sendiri yang masih aktif bekerja meski hanya seorang tukang parkir.

Semenjak kepergian almarhumah Ibu, Bapak memutuskan kembali kota di mana saya dibesarkan beberapa tahun lalu. Ya, Kota Samarinda. Sudah lama saya tidak pulang ke sana.

Saya tidak menyangka di umur sekarang, saya membagikan kisah ini. Apakah itu memotivasi atau sekedar cari sensasi? Yang jelas, saya tidak meminta dikirimin uang hasil jerih payah beliau karena malu jika harus meminta di saat saya mengaku paling konsisten.

Tukang parkir

Akhir tahun lalu, beliau mengabarkan bahwa ia terkena asam urat yang membuatnya kesakitakan bagian lututnya. Entah harus sedih atau marah, apalagi sikapnya yang konsisten tidak menjaga kesehatan meski sudah dirusuh berhenti merokok.

Kemarin baru saja saya menghubungi beliau karena benar-benar kepepet butuh uang. Ia, seperti biasa beliau mengirimkannya meski itu tidak besar.

Beliau sempat bercerita bagaimana hasil jerih payahnya sebagai tukang parkir. Sayangnya, uang tersebut masih di tangan orang lain. Mirip tabungan biar nggak kepake sembarangan apabila dipegang sendiri.

Dulu saya ingat bagaimana beliau bekerja keras sebagai supir angkot. Saya baru menyadarinya, ia yang tak banyak mengenyam pendidikan sangat berdedikasi dalam pekerjaan.

Termasuk menjadi tukang parkir yang saya rasa uangnya tidak masuk akal. Uangnya lebih baik dari penghasilan saya, setidaknya ada pemasukan tiap bulan. Sedangkan saya hingga menutup bulan Januari, tidak dapat sama sekali.

Apakah saya malu memiliki Bapak tukang parkir? Entahlah, saya baik-baik saja dengan itu. Selain karna beda kota, komunikasi kami juga terbatas. Saya hanya fokus dengan apa yang saya lakuin. Jadi, tak perlu memikirkan hal remeh temeh seperti itu.

Mau bantu, malah kebalik. Nyaranin untuk pekerjaan lain yang lebih nyaman, sering ditolak. Seakan sok tahu dan nggak ngerti keadaan.

Yasudahlah. Saya harap semua baik-baik saja. Saya selalu merasa ketakutan tiap mendengar suara telpon berdering. Khawatir ada apa dengan beliau.

Mari doakan saja beliau tetap sehat dan panjang umur. Sebagai anak, saya sudah gagal menjadi kebanggaan. Terima kasih buat Bapak yang tetap kuat bagi adik-adik saya. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya