[Artikel 24#, kategori wanita] Akhirnya saya kemakan omongan sendiri tentang sugesti yang saya khawatirin semenjak duduk di bangku kuliah. Ada cerita bahwa berpacaran dengan perempuan tertentu di sebuah daerah, bila kamu main ke rumahnya dan bertemu orang tuanya, kamu akan disarankan menikah oleh mereka. Mereka maunya menikah ketimbang berpacaran.
Saya tidak menyangka akan merasakan hal itu, meski tidak sampai bertemu dengan orang tua si perempuan. Menikah baginya (pacar), adalah sebuah kepastian untuk melanjutkan hubungan agar saya tidak main-main. Memang tidak langsung menikah hari itu juga, hanya sebuah ungkapan bahwa saya serius dengannya.
Saya pasti akan menikahi dia. Masa depan yang saya pikirkan memang sudah ke sana. Apalagi dengan umur sekarang yang berkepala 30 tahun atau beranjak 33 tahun. Tak perlu disuruh atau dipastikan, saya akan menikah. Insya Allah.
Hubungan kami baru berjalan 3 bulan dan sudah dua kali putus. Bila sampai putus lagi, maka ini semacam statistik dalam dunia sepak bola. 3 bulan pacaran, 3 kali putus. Dan saya merasa buruk sebagai pria yang dalam konteks, wanita tidak bolah salah.
Buat apa berpacaran?
Bagi pasangan saya, maksudnya pacar, berpacaran seperti sebuah khalayan. Saya merasa bahwa media sosial yang banyak memaparkan pernikahan pasangan muda dan ajakan nikah muda, seakan menjadi penyebab sugesti pacaran lama-lama tidak berfaedah.
Saya ingin menyelami dasar laut, seberapa dalam saya bisa bertahan. Seperti mengenal wanita yang jadi pacar saya ini, saya ingin melihatnya bahwa ia adalah garansi buat calon istri saya.
Ia menuntut menikah dan bertemu dengan orang tuanya. Baginya wajar dengan umurnya dan pendidikan yang telah diselesaikan.
Namun saya tidak berharap secepat itu. Hubungan dua bulan dua kali putus, itu buruk menurut saya. Saya masih mencoba membenarkan argumen bahwa ia adalah perempuan baik dan tentu sikapnya juga baik.
Bila itu buruk, tentu saja karena pengaruh saya yang selalu membuatnya berani memutuskan saya. Dua kali putus, dan saya juga yang berusaha untuk mengajak balikan. Dan bila putus lagi, kesempatan saya bakal hilang selamanya.
Saya ingin melihat air laut yang tenang dulu. Sama seperti hubungan kami. Saya selalu mendengarkan apa yang ia rasakan, baik pekerjaan maupun masalah pribadi.
Saya ingin di sana dan mengakhiri hubungan ini di atas pelaminan. Masa depan saya sepertinya sudah berjalan dengan benar saya pikir.
Dengarkan saya
Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya berpacaran sebelum-sebelumnya, bagaimana hubungan yang membuat saya trauma, keluarga yang tidak begitu baik dari saya hingga hal-hal kecil yang belum pernah saya ceritakan.
Semua itu ingin saya bagi dalam rentang waktu berpacaran. Agar kelak, ia siap dengan semua tetek bengek yang ada dalam diri saya.
Saya bukan penganut agama taat, maka jangan berpikir akan bahagia bila menikah dulu baru berposes berpacaran.
Makin ke sini, saya semakin tertekan dengan masa lalu saya yang buruk. Apakah bakal jadi seperti yang dulu-dulu lagi.
...
Saya tidak mengerti, apakah sugesti di era sekarang menikah muda atau jangan pacaran menjadi penyebab hubungan saya tidak lancar.
Bila kamu juga ada yang mengalami, ini adalah keputusan yang sulit. Andai posisinya seperti saya yang bukan datang dari keluarga berada. Tapi kalau sebaliknya, dukungan orang tua dari harta dan kekuasaan itu ada, menikah saja. Itu saran saya.
Karena itu lebih baik dan kamu tidak bakal kehilangan dia. Apalagi kamu sangat mencintainya.
Pada akhirnya, sugesti tentang wanita yang ingin cepat menikah dibeberapa daerah ketimbang berpacaran lama-lama, saya merasakannya sekarang. Menikah buat wanita seperti pacar saya adalah sebuah kepastian. Bukan khayalan.
*Wanita selalu benar, dan pria selalu salah.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar