Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Menjadi Dewasa Itu Melelahkan


[Artikel 2#, kategori pria 34 tahun] Tanpa sadar, dituntut untuk mengerti. Mengalah dengan apa yang terjadi. Kalau mau marah, dianggap anak kecil yang sedang ngambek. Dilawan sama-sama keras, dianggap tak punya hati. Lalu ditinggal pergi. Sangat melelahkan jika dipikir kembali. Tidak bisakah saling melengkapi?

Saya berbicara tentang keadaan dua orang kekasih. Pria yang sudah dewasa dari segi umur. Dianggap cukup dari sisi kualifikasi pernikahan dan tentu, paham manis asam garam kehidupan.

Satunya, wanita yang penuh enerjik. Dewasa saat sedang mood bahagia. Dan sebaliknya, mood buruk bakal membuatnya jadi gadis berusia belasan tahun yang selalu menuntut. Bila tidak dipenuhi, ngambek adalah pilihannya. Dua sisi berbeda yang tak ragu-ragu mengeluarkan mulut pedas hingga keputusan yang seolah mudah tanpa kompromi.

Melelahkan

Entah kenapa sebagian pria menyukainya. Bertahan dengan pasangannya, seolah punya banyak tenaga untuk mencintai. Rasa lelah seolah bagian dari kehidupan. Selama itu adalah cinta.

Terkadang saya ingin mundur, diam, tak melakukan apapun. Nyatanya, logika tetap kalah oleh perasaan. Apakah ini berarti persentase jatuh cinta lebih besar ketimbang memikirkan rasa sakit akibat cinta tersebut? Entahlah. Bertahan karena rasa adalah obat terbaik untuk mengatasi rasa lelah.

...

Andai saya dapat berkat pengulangan hidup menjadi pria muda, mungkinkah saya akan pergi ketika merasa lelah menjadi kekasih?

Saya harap tidak. Jatuh cinta memang ajaib. Seperti candu yang terkadang tidak butuh alasan untuk bertahan.

Selama tetap bersamanya. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh