Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Sayur Nangka

[Artikel 94#, kategori catatan] Niatnya beli sayur pare, tapi 3 warteg yang didatangi tidak menjual, terpaksa beli sayur nangka. Selama 2 hari makan ini, setidaknya ada nasi. 

Cuma beli 4 ribu rupiah sudah dapat banyak, pikir saya saat itu setelah harapan menyantap sayur pare kandas di warteg ketiga. 

Padahal sebelumnya sudah beli sayur pare dan dapat. Entahlah, lagi pengen makan sayur yang pahitnya itu buat nagih. 

Meski tanpa udang, rasanya yang khas membawa memori saat masih kecil. Rindu masakan rumah saat masih Sekolah dulu. Campuran udangnya sangat nikmat.

Bila sayur nangka beli 4 ribuan, sayur pare sebelumnya cuma 3 ribu dan dimakan untuk 2 hari. Maksud hemat sebenarnya, tapi juga membawa kenangan.

Sayur nangka meski tak banyak kenangan, juga termasuk makanan yang sering dimasak di rumah dulu.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya