Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Keteraturan yang Buat Tidak Nyaman

[Artikel 58#, kategori rumahManajer terbaik kami di rumah sedang melakukan misi besar dalam urusan merombak rumah. Alhasil, semua harus serba diatur agar terlihat nyaman dan bersih. Namun entah kenapa itu berdampak kurang baik buat saya pribadi.

Sial! Sekarang saya punya alasan keluar rumah. Pikiran saya terus berimprovisasi yang mana seharusnya tidak terjadi. Bahkan sebelum ini, saya berkeras hati untuk bertahan hingga waktu tertentu. 

Keteraturan

Salah satu yang membuat diri saya kurang nyaman adalah keteraturan yang terlalu dipaksakan. Padahal, di umur sekarang, saya mau sesuatu tetap ada dan tidak berubah.

Semisalnya saja seperti sendal yang ada di depan rumah. Saya lebih banyak beraktivitas pagi hari menggunakannya untuk menyalakan kran air atau pompa air.

Biasanya selalu ada di depan, namun mendadak dipindahkan ke dalam. Saya pikir hanya sesaat dan wajar. Ternyata, sering kali saat saya taruh kembali di luar, sendal itu ditaruh lagi ke dalam.

Hingga suatu hari, saya diberitahu untuk selalu menaruh sendal di dalam. Saya tidak menyukai itu. Semakin ke sini, perasaan nyaman saya lebih sering terganggu. Tentu, masih ada banyak lagi. 

Karena saya harus menghormati sang manjer, mau tidak mau saya melakukannya dengan terpaksa. Jadi, saat dini hari mau nyalakan air atau pompa air, saya harus mengambil sendal dari dalam. 

Jika selesai urusan, saya harus bawa lagi ke dalam. Terkadang saat harus keluar ingin membeli sesuatu, saya harus mengambilnya lagi...dan lagi. Dan kemudian menaruhnya lagi.

Sebel sendiri tapi malas ngurusin

Saya merasa dejavu dengan masa lalu yang pernah saya alami. Entah kenapa urusannya dengan wanita itu menyebalkan. Dan saya sudah tidak mempercayai orang baik sekali lagi.

Solusi satu-satunya adalah segera pergi dari rumah ini. Sudah tidak ada lagi tujuan dan alasan tinggal lagi sebenarnya.

Saya bertahan karena adanya dotsemarang sebagai pekerjaan. Saya benar-benar harus memikirkan sekali lagi alasan ini. Karena belum tentu juga saya pergi di saat hutang-hutang saya masih belum terlunasi.

...

Ternyata perbedaan umur antara 30 dan 20-an sangat berpengaruh sekali dalam mengambil keputusan dan pikiran. Umur 20-an mungkin saya bisa berkeras hati, mengatakan sesuatu yang yang saya percayai atau pergi sekalian tanpa perlu dihalangin.

Umur 30-an, kebijaksaan menjadi pertimbangan setiap kali pikiran mendorong keberanian. Karena rasa itu, saya harus berpikir ulang. Mungkin jika tinggal di tempat sendiri saya akan memiliki sikap yang berbeda.

Di sini, saya harus tahu diri. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sudah numpang, malah ngelunjak. Diatur buat baik, malah kesel karena alasan kenyamanan.

Menjadi dewasa itu melelahkan.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat

Sifat Buruknya Pria 29 Tahun