Catatan

Pria (Tidak) Berharga

Gambar
Saya melihat teman lama yang perutnya membuncit sedang menggendong anaknya. Terlihat senyumnya yang lepas seakan mengatakan bahwa dialah yang paling bahagia di dunia ini. Sebuah pesan kepada para lelaki bahwa ia sudah tiba digaris akhir seorang pria sukses. Lalu, kapan kamu? Entahlah, saya juga bingung mengapa saya berjalan tidak pada semestinya seperti para pria lainnya yang kerap kali membagikan momen-momen bahagianya dengan pasangan dan anak kesayangannya. Memiliki istri yang rupawan, apalagi setia, cakep tuh disebut keluarga kecil yang bahagia. Inilah kekurangan pada diri saya yang mengaku hebat dalam konsistensi, tapi sulit ekonomi. Pria (tidak) berharga Saya kembali memulai perjalanan baru sebagai pria yang kini menginjak usia 38 tahun. Apa yang akan terjadi sepanjang tahun, saya harap itu sangat berharga.  Di umur sekarang ini, saya percaya bahwa 'laki-laki sukses ada keluarga dibelakangnya yang hebat'. Saya merenung sesaat, andai saja saya bisa kembali mengulang waktu s

Film Negeri Van Orange, Gagalnya Membangun Antusias


Sempat absen nonton beberapa film Indonesia yang sedang hits akhir tahun 2015, akhirnya kesampaian juga bisa nonton diantara salah satu film yang membuat bioskop Semarang benar-benar antri. Dan ada cerita spesialnya saat itu.


Film Negeri Van Orange diangkat dari sebuah Novel dan mengambil lokasi Belanda sebagai background utama. Menyuguhkan berbagai keindahan sudut kota dan warna-warni suasana di sana, membuat siapa saja yang menontonnya pasti berbahagia. Atau berharap, kelak saya harus kesana.

Deretan pemain muda dan bertalalenta miliki Indonesia yang sedang karirnya menanjak adalah jaminan betapa kerennya film ini. Lagi-lagi nama bendera Falcon ada dibalik film yang sepertinya harus mengeluarkan budget diatas rata-rata.

Punya banyak sisi cerita

Saat saya menonton film ini tidak sendiri. Saya bersama seseorang dan berharap awal tahun mendapatkan berkah karenanya. Lama tidak pernah membeli tiket buat dua orang membuat saya kikuk ketika mbak-mbak loket menggoda saya.

Negeri Van Orange atau NVO sesuai prediksi saya yang sebelumnya pernah diceritakan adik saya yang sudah menontonnya. Punya banyak sudut pandang dengan berbagai cerita lalu mengakhirinya dengan benang berwarna merah sebenarnya NVO sangat menarik.

Tapi suasana hati saya tidak begitu menyukainya. Mungkin karena alurnya hampir ketahuan atau juga karena sudut pandang semua tokoh diceritakan hanya oleh 1 orang yaitu Lintang (Tatjana Saphira). Satu-satunya pemain film perempuan dan sangat cantik. Saya percaya, dia akan menjadi bintang besar suatu saat.

Wicak (Abimana Aryasatya), Geri (Chicco Jerikho), Banjar (Arifin Putra), juga Daus (Ge Pamungkas) diceritakan masing-masing dengan berbagai keunikan dan kelebihan mereka. Alur cerita maju mundur pun mau tidak mau menjadi bagian cerita yang membuat rasa penasaran penonton terus bertambah. Seperti apa akhirannya bila belum membaca novelnya.

Persahabatan dan cinta

Saya banyak berharap dengan film NVO akan menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Apalagi kemasannya benar-benar dibungkus dengan rapi, indah dan sangat-sangat menarik.

Beberapa kejutan diberikan seperti kisah hidup Geri yang harus mengatakan kepada semuanya bahwa ia menyukai sesama. Dan lainnya, hanya Wicak pria pendiam yang diam-diam berhasil menaklukkan Lintang. Apakah pria pendiam dalam kehidupan nyata akan mendapatkan seseorang?

Kurang greget

Melihat lamanya film NVO bertahan ditengah gempuran film-film Indonesia yang lain yang membawa genre komedi, tentu film ini terbilang sukses. Sukses karna punya kemasan bagus, pemain yang berkualitas. Dari fisik, karakter dan segalanya, mereka sebenarnya lebih unggul.

Saya adalah orang yang jarang membaca sebuah novel, saya pikir pasti cerita aslinya lebih menarik. Atau saja, mungkin saya yang menterjemahkan film ini kurang greget. Terutama sumber daya film ini yang tidak ditunjang dengan sisi kreatif. (Maaf, efek kebanyakan nonton film drama Korea akhir-akhir ini)

Sebuah perjuangan

Mungkin dengan durasi 97 menit, film ini dirasa kurang. Atau akan dibuat sekuelnya dan televisinya. Disayangkan jika melihat kemasan film ini begitu menggoda kaum muda Indonesia.

Untuk mendapatkan tiket film ini pun butuh perjuangan. Saya tidak ingin merusak rencana dan kesan pertama saya dengan seseorang. Karena pengalaman beberapa waktu lalu tiket-tiket sould out, saya bergegas memesan tiket awal-awal buka. Apalagi film ini tinggal 2 jam pemutaran.

Setelah tiket ditangan, perasaan saya tenang juga. Saya harus pulang lagi karena film masih beberapa jam. Rencana berkencan yang lama tak pernah dilakukan membuat saya sangat antusias. Ya, meski ceritanya ini bukan. Saya datang beberapa jam kemudian tanpa seikat bunga atau tuxedo yang biasa dilakukan banyak pria. (woi ini siang hari, haha).

...

Film NVO dari sisi kemasan benar-benar sangat segar. Para pemain yang berkelas, muda, tampan, cantik dan berkarakter tentu jadi pendamping paling menarik buat film ini. Sedangkan sang pasangan (baca cerita), meski gagal membangun antusias saya, setidaknya sudah berani berimprovisasi. Ini hanya soal slot waktu, andai mereka diberi lebih tentu ini bisa diubah.

Dan kisah saya pun juga selesai di sini juga. Merasakan menjadi Cinderalla disiang bolong bersama seseorang itu luar biasa. Dan kini harus menghadapi kehidupan nyata, mari pergi ke bioskop sendiri lagi. Karena sesungguhnya, menonton film Indonesia itu butuh hati untuk datang dan pergi.

*Terima kasih ya, atas waktunya bersedia menemani .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

[Review] One Day, Film Korea Tentang Pertemuan Pria dengan Wanita Koma yang Menjadi Roh