Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Melarikan diri ?


[Artikel 13#, kategori Amir] Mengapa manusia melarikan diri? Saya coba tanya ke Google, hasilnya tidak ada yang sesuai apa yang saya inginkan. Segitu terjerembab kah? Perasaan yang dialami seseorang sampai - sampai mereka lupa makna memperbaiki diri sebagai manusia.

Entah kenapa dejavu kembali lagi menghantui perasaan saat ini. Saya bukan orang jahat, atau orang yang suka memainkan kekuasaan layaknya sebuah film di televisi. 

Saya hanya sedang tidak terima dengan keadaan di mana seseorang terlibat di dalamnya. Marah, benci dan pergi. Seperti titik nadir yang akhirnya meluap karena keseringan terbebani. Pecah, gemuruh dan lusuh.

Melihat ketidaknyamanan yang dirasa dan mengatakan berkali - kali bahwa itu salah, tidak membuat pikiran yang disampaikan dapat diterima. Keadaan terus berulang - ulang dilakukan. Yang ada, saya berubah menjadi Hitler seakan menjadi pemimpin yang ditakuti dan kejam.

Keadaan ini pernah saya alami pada momen tertentu. Saya menjadi biduk yang digeser sana sini mengikuti kemauan sang Raja. Kondisinya memang tidak nyaman. Bahkan tidur dengan kepala di atas bantal saja itu sudah mewah rasanya.

Melarikan diri mungkin jawabannya bagi mereka yang sudah tidak menemukan jawaban atas apa yang sudah dilakukan. Sebagian mungkin beranggapan bahwa itu dapat menyelesaikan masalah. Setidaknya, melepaskan beban karena merasa tersakiti.

Bagaimana dengan saya? Tidak pernah bermaksud menjadi jahat malah akhirnya membuat sakit hati orang yang mengaku paling berbakti.

Sedih, dan sepertinya saya mulai berhenti berbicara tentang apa yang namanya kata baik tersebut. Baik memang sangat berat sekali dijadikan bagian dalam kehidupan ini. 

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat

Sifat Buruknya Pria 29 Tahun