Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

Butuh Ekosistem, Bukan Event


[Artikel 100#, kategori blogger] Bila saya diposisikan sebagai orang luar yang melihat perkembangan dunia blogging saya (Semarang) yang selalu dapat bertemu dengan sesama rekan bloger, pasti saya akan merasa iri. Meski itu kecil sekalipun, akan ada selalu perasaan ingin juga seperti apa yang saya lakukan.

Ketika memutuskan terbang sendiri layaknya seekor burung, saya pikir akan mudah menjangkau tujuan. Nyatanya tidak. Burung-burung lain bukan saja terbang mendekati saya, tapi terbang lebih tinggi.

Bukan begini caranya bertemu

Kami bertegur sapa, tertawa dan sesekali mengambil topik basi untuk mencairkan suasana saat bertemu. Orang-orang yang pernah dekat saya, memang akan jauh lebih cair saat bertemu. 

Sedangkan yang lain, lebih rasa hormat atau sekedar tak ingin ribet untuk urusan bertemu. Tujuan bisa satu ruangan bukan karena ingin bertemu. Tapi karena ada tujuan untuk saling berjumpa dengan alasan sebuah acara.

Saya sendiri pun tak ingin sebenarnya mencari muka. Lebih baik diam dan selesaikan acara, pikir saya dari rumah dengan niat sempurna. Tapi selalu gagal. 

Ekosistem yang memiliki tujuan

Selesai acara, tentu saja kami pergi dari lokasi. Kembali menuju kehidupan masing-masing. Menyelesaikan tujuan lain hingga tugas yang belum selesai. 

Tidak ada tujuan besar mengapa kami dapat dipertemukan. Semisal ada pun lebih sisi tujuan dari pemegang acara itu sendiri.

Di dalam satu ruangan pun ada banyak orang-orang yang berbeda meski terlihat sama. Komunitas bloger perempuan tentu saja lebih nyaman dengan sesama.

Grup bloger yang mengajak datang, tentu saja lebih nyaman bersama saat datang dengan satu tujuan. Bahkan saya pernah ditanya, apakah kamu dibayar atau tidak.

Pikiran saya hari ini tertuju pada sebuah memori tentang masa lalu bagaimana eksositem memiliki tujuan besar untuk membangun kota tempat saya menjadi bloger.

Semarang harus lebih baik. Kota besar harus memiliki eksosistem seperti kota lain. Punya orang-orang kreatif, komunitas dan berbagai acara yang dapat diperlihatkan kepada orang-orang di luar Semarang.

Ekosistem ini yang berbicara tentang apa yang belum maksimal dari perkembangan. Apa yang baru ada, dan apa yang terlewat untuk diomongin.

Mengapa kita harus berkumpul, tujuan besar apa yang ingin dicapai dan inilah ekosistem (beragam orang dan beragam komunitas) yang dikenal untuk menjadi salah satu bagian terpenting perkembangan.

Dunia semakin mudah tak perlu berkumpul

Generasi sekarang, entah apa saya saja yang kehilangan ruh, tak ada yang mau mengambil inisiatif. Kemudahan teknologi informasi yang dibalut dengan nama media sosial memang menjadikan manusia lebih dekat.

Saya masih ingat awal-awal bagaimana membangun ekosistem dengan tujuan saling mengenal satu sama lain. Bahkan yang datang bisa dihitung dengan jari. Jujur saya malu dan merasa gagal diawal.

Seiring waktu, saya melihat perubahan itu. Saling mengenal komunitas lain, bercengkrama dengan agenda acara mereka dan bertegur sapa meski tak ada acara.

Generasi baru yang sekarang mudah terhubung tentu bukan generasi yang memikirkan pentingnya ekosistem (orang-orang kreatif). Mereka lebih mudah diajak ketimbang mengajak.

Sedangkan saya, saat disodorkan ide seperti dulu untuk kembali lagi memulai, saya sudah pasti akan menolak. Memang saya butuh ekosistem, tapi saya juga butuh konsen yang lain.

Memang sebuah alasan. Saya belajar dari masa lalu yang indah. Saya tidak ingin perasaan menyerah datang lagi ketika sesuatu yang seharusnya dibangun dari sekitar, malah akhirnya ikut memulai.

...

Komunitas bloger di Semarang memang ada, tapi terbatas pada gender. Maklum pesona emak-emak saat ini sedang kinclong-kinclongnya. 

Beberapa orang masih ada yang menjaga ekosistem, tapi itu bukan tempat saya. Saya butuh ekosistem bukan sebuah event.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Crowned Clown, Drama Korea Kerajaan yang Bercerita Raja yang Bertukar Karena Wajah Kembar

Half Girlfriend, Film India Tentang Pria yang Jatuh Cinta dan Tidak Mau Menyerah

I Will Never Let You Go, Drama China Kolosal Tentang Putri Pengemis dan Pangeran Bertopeng