[Artikel 3#, kategori rumah] Tempat yang nyaman saat penghuninya di rumah. Saat penghuninya pulang dan saat menikmati kesunyian, melepaskan diri dari kehidupan dan menikmati layaknya kerajaan. Rumah yang diimpikan setiap orang memang berbeda. Seperti saya, yang menyukai rumah.
Mei datang dengan ikatan bulan suci Ramadan. Memberi banyak harapan pada setiap orang. Keluarga, orang tua, anak dan adik kakak. Bulan puasa dianggap istimewa oleh sebagian besar umat manusia, terutama pemeluk agama Islam.
Suka cita dan harapan itu lantas menarik diri saya yang tak pantas ikut bersyukur di bulan suci ini. Harapan dari orang yang jauh menanti saya pulang ke rumah tidak serta merta membuat saya senang.
Saya merasa galau parah. Beberapa tahun belakangan berdiam diri di rumah (Semarang), kini disuruh pulang. Seperti apa rumah itu?
Rumah adalah
Andai saja, mungkin pikiran ini terus mengulang masa lalu yang tak percaya di umur sekarang bahwa saya tidak punya rumah sebenarnya. Selalu berpindah dari tempat satu ke tempat lain adalah pengalaman buruk yang tertanam dipikiran sekarang.
Padahal rumah adalah fondasi kuat yang menopang kebersamaan dalam suka cita maupun duka. Beribu alasan diberikan hanya untuk bilang, kami bahagia karena hidup apa adanya.
Di umur sekarang (32 tahun), saya hanya mengharapkan kesunyiaan dalam sepi untuk meraih kesenangan pribadi. Tak masalah kesepian, selama saya tidak menderita. Malah saya merasa sepi adalah kemewahan yang tak pernah dapat dibayar dengan uang.
Rumah bagi saya sekarang seperti bayangan matahari yang masuk dipagi hari. Menyinari tanpa banyak suara, dan menerangi pasukan semut yang sudah menghinggapi sampah tanpa lelah.
Rumah bagi saya adalah tempat bekerja dikala semangat dan optimisme dibalut dalam kompetisi. Tidak ada gangguan selama fasilitas Internet terus berjalan.
Rumah bagi saya adalah tempat merenung diri dari berbagai kesalahan yang dilakukan tak sengaja maupun sengaja. Mengingatkan diri bahwa saya masih sebagai manusia yang belum banyak berbuat apa-apa. Untuk negeri, bangsa, masyarakat hingga keluarga.
Rumah bagi saya adalah tempat sandaran saat merebahkan tubuh dari rasa lelah, baik fisik maupun pikiran. Segala aktivitas dapat dilakukan secara optimal dan pulang adalah mencharger kembali semangat itu.
Rumah bagi saya adalah tempat merawat binatang hidup hingga tumbuh-tumbuhan. Melihat mereka bertumbuh dan mengadopsi mereka layaknya keluarga kedua.
Rumah adalah harapan untuk dirawat, dijaga dan tetap dalam keadaan sedia kala saat dibangun. Peluh keringat tak apa-apa agar tetap terjaga. Yang penting hati tetap riang di dalamnya.
Dan rumah tidak penting seberapa besar atau mewah ukurannya. Saya menyukai yang sederhana, selama itu membuat saya nyaman dan membuat saya lebih menjadi manusia produktif.
...
Saya tidak menemukan alasan untuk pulang sebenarnya, kecuali itu adalah orang tua. Kedamaian yang saya harapkan tidak di sana. Semoga ini bukan sebuah balasan karna saya masih tidak berguna.
Saya hanya ingin tinggal di rumah.
*Saat seperti ini saya berharap dia ada di sini. Mendengarkan saya, bukan meninggalkan keegoisan dan kekuatan pikirannya tentang siapa yang salah.
Artikel terkait :
Komentar
Posting Komentar