Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Adaptasi Lagi

[Artikel 48#, kategori Cinta] Beda negara saja bisa, masa satu kota tidak bisa. Entahlah, situasinya sama lagi setelah keputusannya kembali bekerja. Padahal sudah nyaman dan sangat dekat. Mau tidak mau, harus beradaptasi lagi mengikuti iramanya.

Saya terus berusaha mengubah keputusannya. Tapi tetap tidak bisa. Yang saya sesali adalah ia tak pernah berbicara dengan saya tentang keputusannya. Tahu-tahu sudah mengirimkan surat lamaran. Nasi sudah jadi bubur, hanya perasaan sendiri yang dapat menghibur.

Kini, hanya bisa mendukung meski tak pernah ikhlas. Karena sudah tidak ada jalan lain untuk membelokkan. Semangatnya, kemandirian dan tekadnya, saya harap tidak pernah padam.

Saya berharap untuk yang terbaik baginya. Dan saya selalu mendukung, meski dari belakang saja.  

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya

Blog Personal Itu Tempat Curhat