Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Terlalu Banyak Rasa Khawatir

[Artikel 66#, kategori Pria Seksi] Hari ini, saya menyadari bahwa kekhawatiran yang saya pikirkan begitu banyak. Kenyataannya ternyata tidak selalu sama seperti yang diproses di otak. Malah itu seperti anak yang bodoh dan polos.

Ketika rasa khawatir menjadi berlebihan, pikiran menjadi kacau. Ingin berbuat lebih banyak dan memperdulikan lebih kuat. Itu semua dilakukan karena tidak ingin orang yang disayangi terjadi apa-apa.

Sebuah kenyataan

Suatu hari, saya terpaksa mendadak pulang ke rumah. Bertemu orang tua yang lama tidak dikunjungi. Jika tidak ada momen saat itu, mungkin saya tidak akan pulang. Mungkin Tuhan memberi jalannya.

Jarang bertemu dan menghubungi pun saat perlu, saya pikir keluarga menderita. Ternyata tidak. Mereka baik-baik saja. Hanya mengeluh karena rindu jarang bertemu.

Saat mengetahui kebutuhan sehari-hari lebih dari cukup dan mewah untuk ukuran saya, di situ saya mendapati kenyataan yang selama ini saya khawatirkan.

Mereka tidak semenderita itu ternyata. Saya yang berjuang dengan terus memangkas pengeluaran sehari-hari seolah melakukan tindakan bodoh. 

Dampak buruk

Saya kembali mengingat tentang apa yang saya lakukan, terutama kekhawatiran. Terhadap kekasih yang kini berstatus mantan pun demikian saat-saat bersama.

Inginnya peduli, menemani setiap saat, memberi kehadiran yang sangat penting bahwa kita peduli, hasilnya kami tetap bertengkar.

Rasa khawatir yang berlebihan dianggap pengekangan, egois dan merusak suasana. Kami sering bertengkar padahal belum menjadi pasangan resmi (pernikahan).

Bisa dibayangkan bila kami benar-benar menikah. Menjadi pacar saja sering cekcok, bagaimana menjadi sepasang suami istri. Mending pacaran diputusin, kalau menikah?

Benar-benar memberi dampak buruk. Sikap peduli yang disampaikan hanyalah pengalah rindu. Dan sikap kebohongan yang jarang dilakukan, semakin hari semakin menjadi-jadi.

Hanya tidak ingin menyakiti perasaan, seseorang melegalkan sikap kebohongan. Karena dianggap cara terbaik, sikap itu terus dilakukan.

Sayang kenyataaannya adalah bagaimana sesuatu hal yang terus ditutupi, suatu hari akan tercium juga jadinya. Ini benar-benar buruk kalau begini.

...

Tidak mudah menjadi manusia yang lebih manusiawi. Saat peduli, dianggap berlebihan. Saat cuek, dianggap tidak memiliki rasa kasih sayang.

Apakah dengan kata-kata cukup sekedarnya maka seseorang dapat menunjukkan sikap terbaiknya? Mengapa harus kita yang berubah ketimbang mereka yang berubah?

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya