Catatan

Pria (Tidak) Percaya Diri

Gambar
Sesulit itukah menjadi pria yang memasuki kepala 40 yang sebentar lagi? Meski masih ada beberapa tahun tersisa, bukankah masih ada harapan? Ayolah, bisa bisa. Yuk, mari mulai kisah baru lagi. Apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja. Terkadang ingin mengatakannya seperti itu karena fisik memang baik-baik saja. Namun, sisi mental ternyata tidak baik-baik saja. Banyak persoalan yang dulunya dianggap sepele, sekarang terasa berat jika dipikirkan. Tidak percaya diri Tak banyak hal yang bisa saya ceritakan di-usia 36 tahun . Apakah tidak mengasyikkan atau hanya kedatangan penyakit malas untuk menulis? Rasa percaya diri saya seperti menghilang. Terutama soal hubungan dan pertemanan. Ketika orang terdekat saja bisa menyakiti, bagaimana dengan dua hal tersebut (hubungan dan pertemanan). Di usia 36 tahun, saya tertampar oleh kenyataan yang saya pikir sudah berjalan semestinya. Benteng terakhir saya, keluarga , sangat tidak masuk akal. Jika mereka saja bisa berbuat begitu, lantas apa yang mau

Terlalu Banyak Rasa Khawatir

[Artikel 66#, kategori Pria Seksi] Hari ini, saya menyadari bahwa kekhawatiran yang saya pikirkan begitu banyak. Kenyataannya ternyata tidak selalu sama seperti yang diproses di otak. Malah itu seperti anak yang bodoh dan polos.

Ketika rasa khawatir menjadi berlebihan, pikiran menjadi kacau. Ingin berbuat lebih banyak dan memperdulikan lebih kuat. Itu semua dilakukan karena tidak ingin orang yang disayangi terjadi apa-apa.

Sebuah kenyataan

Suatu hari, saya terpaksa mendadak pulang ke rumah. Bertemu orang tua yang lama tidak dikunjungi. Jika tidak ada momen saat itu, mungkin saya tidak akan pulang. Mungkin Tuhan memberi jalannya.

Jarang bertemu dan menghubungi pun saat perlu, saya pikir keluarga menderita. Ternyata tidak. Mereka baik-baik saja. Hanya mengeluh karena rindu jarang bertemu.

Saat mengetahui kebutuhan sehari-hari lebih dari cukup dan mewah untuk ukuran saya, di situ saya mendapati kenyataan yang selama ini saya khawatirkan.

Mereka tidak semenderita itu ternyata. Saya yang berjuang dengan terus memangkas pengeluaran sehari-hari seolah melakukan tindakan bodoh. 

Dampak buruk

Saya kembali mengingat tentang apa yang saya lakukan, terutama kekhawatiran. Terhadap kekasih yang kini berstatus mantan pun demikian saat-saat bersama.

Inginnya peduli, menemani setiap saat, memberi kehadiran yang sangat penting bahwa kita peduli, hasilnya kami tetap bertengkar.

Rasa khawatir yang berlebihan dianggap pengekangan, egois dan merusak suasana. Kami sering bertengkar padahal belum menjadi pasangan resmi (pernikahan).

Bisa dibayangkan bila kami benar-benar menikah. Menjadi pacar saja sering cekcok, bagaimana menjadi sepasang suami istri. Mending pacaran diputusin, kalau menikah?

Benar-benar memberi dampak buruk. Sikap peduli yang disampaikan hanyalah pengalah rindu. Dan sikap kebohongan yang jarang dilakukan, semakin hari semakin menjadi-jadi.

Hanya tidak ingin menyakiti perasaan, seseorang melegalkan sikap kebohongan. Karena dianggap cara terbaik, sikap itu terus dilakukan.

Sayang kenyataaannya adalah bagaimana sesuatu hal yang terus ditutupi, suatu hari akan tercium juga jadinya. Ini benar-benar buruk kalau begini.

...

Tidak mudah menjadi manusia yang lebih manusiawi. Saat peduli, dianggap berlebihan. Saat cuek, dianggap tidak memiliki rasa kasih sayang.

Apakah dengan kata-kata cukup sekedarnya maka seseorang dapat menunjukkan sikap terbaiknya? Mengapa harus kita yang berubah ketimbang mereka yang berubah?

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Crowned Clown, Drama Korea Kerajaan yang Bercerita Raja yang Bertukar Karena Wajah Kembar

Berkenalan dengan Istilah Cinephile

Halo, Mei 2024