Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Sabtu, Hari yang Terasa Panjang

[Artikel 62#, kategori Pria Seksi] Saya mencoba menyibukkan diri untuk mengurangi aktivitas saya yang selalu menanti balasan pesan darinya. Setiap 5 menit, saya membuka aplikasi WhatsApp. Padahal saya sedang membersihkah rumah, tapi tetap saja perasaan khawatir terus menunggunya yang membuat waktu terasa melambat.

Semenjak Jumat sore dia memberitahukan bahwa ia sedang kedatangan penyakit wanita (datang bulan), saya mulai menjaga jarak. Tahulah, ketika wanita sedang kedatangan, moodnya selalu tidak bagus. Salah satu akibat sering putus rasanya dulu karena itu.

Meski begitu, saya senang bahwa ia menelpon saya yang sedang beraktivitas di Kabupaten Semarang, Susan Spa. Sayang waktunya sedikit saja karena posisi saya harus bergegas pulang. Hari itu, saya diberi fasilitas jemput antar oleh pihak tempat. Jadi tidak ada pilihan selain menurut.

Yang saya ingat adalah saya memberinya pesan sebelum menutup video call kami, tolong kasih kabar dan jangan cuek. Ia terdengar menjawab iya.

Pesan yang tidak dibalas

Mungkin ini tidak enaknya menjadi dewasa yang selalu khawatir dan berharap lebih pada manusia. Saya akhirnya sudah tiba di rumah. Saya mengabarinya dan memberi ucapan kepadanya.

Malam itu saya tidur lebih awal karena pulang tadi juga badan begitu lelah dan kehujanan. Saya tak berharap ia akan membalas pesan itu secepatnya.

Hingga pagi hari, ia tak ada respon sama sekali. Chat dibiarkan begitu saja. Beberapa kali ketika siang menjulang tinggi, ia terlihat online.

Saya masih khawatir jika moodnya tidak bagus untuk bertanya dan mengirimin pesan lainnya. Saya membiarkannya sejenak, sambil mengingat pesan video call sebelumnya bahwa saya sudah mengatakan tolong jangan cuekin saya.

Waktu terasa panjang

Malam sebentar lagi berganti. Hujan malah menyertai malam minggu dan saya tetap menunggu pesan chat berubah menjadi centang biru. Ia benar-benar tidak memikirkan saya yang menunggunya.

Saya sudah melakukan semua aktivitas dari pagi untuk sekedar membiarkan perasaan galau saya yang menanti pesan darinya dibalas. 

Entah kenapa hari Sabtu ini, waktu begitu terasa panjang. Hampir setiap menit, jam dan lebih dari itu, saya memeriksa pesan darinya.

Marah

Minggu dini hari, ia membagikan stories-nya yang memperlihatkan aktivitas bersama saudarinya setelah bekerja. Ia tampak baik-baik saja, seolah ada kebakaran di rumah tidak terasa panasnya.

Dan akhirnya, saya juga yang mengirimkan pesan kembali kepadanya. Beberapa pesan sebelumnya yang masih belum centang biru akhirnya berubah jadi biru.

Saya akhirnya marah kepadanya, meski tidak berhak lagi. Bagaimana bisa ia meninggalkan seseorang yang memikirkannya setiap waktu dan ia bersenang-senang sendiri tanpa merasa bersalah.

Seperti biasa, marah saya selalu menjadi bumerang sendiri. Ia benar-benar tidak merasa bersalah dan malah menganggap apa yang saya lakukan bukanlah yang harus ditanggapi. Kita hanyalah dua orang manusia yang sudah menjadi mantan.

Dan saya sadar bahwa ini adalah kesalahan saya yang terlalu mengkhawatirkannya seperti masih jadi kekasih. Tapi saya benar-benar marah hari ini.

Dewasa itu tidak mengenakkan

Saya adalah pria dewasa yang harus terus mengerti sifat wanita, baik saat ia bahagia dan saat ia sedih. Tidak boleh membantah dan menuruti semua kemauannya.

Kadang saya berpikir sudah melakukannya sebaik mungkin. Apa yang saya katakan dulu jangan jadi pria baik, malah saya lakukan sekarang.

Kedewasaan dari sisi umur seolah harus menyerah dan ikhlas. Memperlakukannya seperti Ratu kerajaan dan putri yang ingin disukai. Ketika ia marah, saya hanya perlu tunduk dan diam.

Entahlah, posisi sekarang ternyata ada tidak enaknya juga. Perasaan untuk mengalah begitu besar. Setelah mengalah pun, malah ditindas untuk terus mengerti. Andai saya bisa memutar waktu menjadi seperti dia, mungkin saya tidak perlu mengkhawatirkannya.

...

Saat ada seseorang yang begitu mengkhawatirkanmu, janganlah cuek. Kamu tidak sendiri, kamu hanya perlu pergi dan katakan padanya, aku baik-baik saja. Jangan sampai suatu hari kamu mengatakan tidak ada orang yang mengerti kamu. Padahal orang yang menunggumu selalu ada untukmu.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya