Catatan

Pria Tidak Berdaya

Gambar
Selamat bertambah usia untukku. Di tengah perayaan sederhana yang kuhidupkan lewat tulisan ini, aku memilih tema “Pria Tidak Berdaya” sebagai cermin perjalananku. Bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memeluk kejujuran—tentang diriku, tentang hidup, dan tentang harapan yang masih kugenggam erat meski kadang terasa rapuh. Dalam bahasa Indonesia, “berdaya” berarti punya kekuatan, kemampuan, atau kemauan untuk menghadapi hidup—entah itu menyelesaikan masalah, mengejar mimpi, atau sekadar bangun dari tempat tidur dengan semangat.  Tapi di usia ini, aku merasa berada di sisi sebaliknya: tidak berdaya. Bukan karena aku menyerah, tapi karena hidup terasa seperti permainan yang aturannya terus berubah, dan aku sering kehabisan napas untuk mengejar. Hampa di Tengah Keramaian Di usia 39, aku melihat banyak pria seusia ku hidup dalam ritme yang sepertinya lebih “hidup”. Mereka punya pekerjaan yang memberi kepastian—gaji bulanan yang datang tanpa drama, hanya perlu mengatur apa yang masuk ke ...

Ayah Mertua yang Bangga

[Artikel 13#, kategori rumah tangga] Beliau terus berbicara kepada menantu perempuannya sambil menyetir. Pantas saja tumben-tumben beliau ingin menyetir sendiri meski ada saya yang biasa menyetirin. Kali pertama saya bersama keluarga rumah yang akhirnya pulang ke Semarang selama pandemi. Kali ini datang bersama menantunya. Terlihat sangat bangga beliau dari senyumannya.

Begini rasanya melihat seorang Ayah dari pemilik rumah yang begitu senang memiliki menantu. Apakah karena anak pertamanya yang akhirnya menikah setelah adik-adiknya yang lebih dulu. Atau perannya sebagai ayah bagi anak-anaknya, akhirnya tuntas. Orang tua yang baik yang harus dihormati tentunya.

Tidak peduli kaki yang sakit

Sebenarnya beliau memiliki keadaan yang kurang baik hari ini. Kaki beliau yang terdampak dari asam urat mengakibatnya nyeri. Sebagai anak dan orang yang meninggali rumahnya, tentu saya tidak tega membiarkan beliau mengambil alih setir.

Setiap tempat yang kami lewati, beliau terus bercerita kepada menantunya. Dengan bangganya, beliau berkata tentang ini dan itu. Sungguh, saya cemburu dengan kondisi kami yang sedang berada di dalam kendaraan bersama-sama.

Kira-kira, apakah orang tua saya akan bangga apabila nanti saya telah menikah? Ayah saya bukan seorang pejabat pemerintahan atau pengusaha sukses yang dapat bercerita dengan sangat bangganya. Yang ada mungkin minta memaklumi keadaannya dan mencintai saya apa adanya.

Saya harap, menantunya kelak (istri saya) mengatakan bahwa kita baik-baik saja dan bangga dengan beliau yang bisa membesarkan saya sebagai pasangannya. Lalu, saya yang disamping istri saya sangat terharu dan ingin memeluknya saat itu. Andai itu adalah kenyataan tentu saya akan bangga dengan dirinya.

Semoga mereka tetap akur

Akhirnya kami tiba di lokasi yang dituju. Si menantu pergi dengan Ibu mertua. Dan saya menemani Ayah mertua, maksud saya Ayah si pemilik rumah. Saya benar-benar seperti orang luar saat itu. Entahlah kenapa perasaan tersebut begitu saja menyelam dipikiran saya.

Saya harap, keluarga ini tetap akur selamanya hingga memiliki cucu-cucu yang cantik dan ganteng. Sehat selalu buat semuanya. Saya senang bisa menjadi bagian dari keluarga ini dan lewat tulisan ini saya sangat menghormati mereka.

...

Mungkin Ayah kandung saya tidak sekeren Ayah si pemilik rumah, tapi saya tahu sebagai sesama pria, kami sangat bangga memiliki menantu yang mencintai anaknya. Menerima apa adanya dan membantunya menjadi lebih baik.

Semoga menantu tidak lelah dengan prianya yang menjadi pasangan hidupnya. Dan Ayah mertua yang begitu bangga padanya. Saya percaya, kebahagiaan akan selalu menyertai kalian.

Saya harap segera lekas menikah juga dan memberi kebangaan kepada Ayah kandung saya agar ia lebih sombong tentang dirinya sebagai Ayah mertua. Matanya yang sayup tidak menutupi senyumannya yang percaya bahwa saya menemukan wanita yang begitu mencintai saya.

Artikel terkait :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pria Tidak Berdaya